Minggu, 17 Januari 2010

Jusuf Kalla : Saya Jual Departemen Pertanian “SAYA JUAL DEPARTEMEN PERTANIAN”

baca berita ini coba!!!!!!!!!!!!!!!

wah, dulu belum swaswmbada beras, begitu digertak, baru deh bisa swasembada lageee....kayaknya orang indonesia harus digertak dulu apa yah, biar tambah maju.....!!!!!
:D..:D..:D

10 November 2008
Jusuf Kalla : Saya Jual Departemen Pertanian

“SAYA JUAL DEPARTEMEN PERTANIAN”

Sekarang ini, jangan berpikir perluasan, tetapi meningkatkan produktivitas.

Krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat memicu krisis ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan pemerintah, terutama untuk bidang agribisnis, dalam menghadapi krisis ini? Untuk itulah Tim Tabloid Agribisnis AGRINA mewawancarai Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Republik Indonesia, di Istana Wakil Presiden RI, Jakarta, Rabu siang, 22 Oktober 2008.

Berbincang-bincang dengan Ketua Umum Partai Golkar ini memang mengasyikkan. Sebenarnya, waktu yang dialokasikan untuk wawancara khusus ini sekitar setengah jam. Tetapi karena kelahiran Watampone, 15 Mei 1942, ini sangat menguasai dunia agribisnis, jangan heran, kalau akhirnya wawancara hampir mencapai satu jam. Berikut petikannya.

Bagaimana kebijakan di bidang agribisnis untuk mengantisipasi krisis ini?

Ya, dari segi agribisnis tidak banyak yang spesifik. Kebijakannya sama, bagaimana meningkatkan produktivitas, meningkatkan nilainya, memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan meningkatkan ekspor. (Sekarang) ini, jangan berpikir perluasan, (tapi) meningkatkan produktivitas. Bibit diperbaiki, pupuk tersedia pada waktunya, dan latih petani. Tahap kedua, perbaiki pengairan. Mulai tahun ini anggaran pengairan lebih besar. Dan, tentunya pasar, karena petani kita sangat peka pasar. Kalau itu diperbaiki, pangan kita bisa ekspor tahun depan. Kebijakan umum itu sudah berjalan sehingga kita terhindar dari krisis pangan.

Berarti tidak ada kebijakan khusus, padahal sekarang demand turun?

Sebenarnya, karena policy sudah berjalan baik. Yang terjadi sekarang, demand turun. Daya beli di Amerika, daya beli di Eropa, dan daya beli di dalam negeri menurun. Sekarang itu ada positif-negatifnya. Katakanlah minyak goreng. Akibat kebutuhan turun, (harga) sawit turun. Hal ini menyebabkan dua hal: ekspor turun dan harga minyak goreng di dalam negeri turun. Kalau itu faktornya, bagaimana meningkatkan kembali pasar itu.

Bukankah penurunan kebutuhan sawit ini menyebabkan harga sawit petani turun?

Untuk sawit, kita pengekspor terbesar. Demand turun, harga turun, petani kalah. Maka, bagaimana menaikkan demand itu. Saya yakin, harga (CPO atau crude palm oil) akan naik lagi. Kenapa? Karena kalau harga minyak mentah dunia turun, maka konversi biodiesel (dari CPO) atau bioetanol dari jagung dan gula pasti turun. Kalau itu menurun, harga minyak mentah akan naik lagi, negara-negara menggenjot produksi, harga CPO naik lagi.

Lantas, bagaimana dengan mandatory 5% (kewajiban membeli CPO dan lain-lain untuk biodiesel dan bioetanol)?

Malah rencananya akan kita naikkan jadi 10%. Lagi kita persiapkan dia punya pabriknya, baru tiga. Itu tahap pertama. Tapi (tahap kedua) proses blending-nya di mana yang baik, apa di pengolahan Pertamina. Blending ini perlu dengan baik supaya tidak merusak kendaraan. Saya suruh tiga bulan untuk memperbaiki itu.

Dengan kebijakan mandatory tersebut berarti menciptakan demand untuk CPO?

Ya, otomatis harga (tandan buah segar atau TBS sawit) di tingkat petani akan naik. Maka saya katakan tadi, biodiesel ini akan naik, kita mengurangi impor (BBM). Yang sekarang kita hitung, berapa harga pokok mereka, dengan harga sekarang US$600–US$700 (per ton CPO), sehingga kita bisa bersaing dengan minyak mentah tanpa subsidi. Saya bilang, mandatory-nya naikkan aja sampai 10%. Tetapi, kemampuan teknisnya bisa nggak?

Lantas, bagaimana dengan pasar ekspor produk-produk perikanan seperti udang?

Ya, otomatis harga udang akan turun. (Ekspor) perikanan kita lebih banyak ke Jepang. Walaupun dalam keadaan krisis apapun, makanan ini tidak banyak berubah, itu adalah penurunan terakhir. Kalau Anda penghasilan turun, maka Anda turunkan biaya holiday, biaya luxury, mengurangi mengecat rumah, mengurangi membeli elektronik, tapi Anda tidak akan mengurangi makanan duluan.

Bukankah dengan penurunan demand di Amerika Serikat dan Eropa, negara-negara yang tadinya mengekspor ke sana, akan mengalihkan pasarnya ke Indonesia dengan harga dumping atau masuk secara ilegal?

Itu dumping bukan dari Amerika. Bisa dumping dari China. Tapi China tidak murah lagi. China itu bukan dari makanan, murahnya dari industri. Kalau dari segi makanan saya kira, memang seasonal. Mungkin pada saat sebelum krisis ini, stok banyak. Tiba-tiba terjadi penurunan, dia masih memakai stok yang ada.

Bagaimana dengan bidang hortikultura, banyak buah-buahan dari luar negeri yang menyerbu pasar Indonesia?

Itu kalau 10 tahun lalu, ya. Sekarang sebenarnya jauh lebih banyak dalam negeri. Dulu kita impor lengkeng, sekarang dalam negeri semuanya. Paling yang kita impor yang nggak bisa tumbuh di dalam negeri, seperti anggur, pir, tapi berapa sih konsumsinya. Jadi, dari statistik, impor buah-buahan itu tidak besar. Orang kembali ke (buah) lokal. Tetapi, supaya laku di pasar, tetap pakai Monthong, pepaya Bangkok, padahal nggak ada lagi dari Bangkoknya. Itu yang saya katakan, dibikinnya di Bogor, dikasih cap Bangkok.

Bukankah lebih baik dengan merek-merek lokal?

Pelan-pelan aja. Kalau laku dengan kata-kata jambu Bangkok, apa urusannya nama, biarlah supaya harganya baik. Begitu Anda mengatakan jambu Cirebon, nggak laku? Artinya tergantung petani. Sekarang ini kita kekurangan selected quality, ya. Kalau di luar negeri, jeruknya kuning-kuning, kita bintik-bintik. Itu perlu diperbaiki. Untuk mangga, saya lihat, mulai bagus, mangga gincunya kelihatan, sudah mulai peningkatan mutulah.

Bagaimana dengan program peningkatan konsumsi protein hewani, seperti ayam, telur, dan daging, yang masih rendah dibanding negara-negara lain?

Saya kira, ayam ini cukup. Saya kunjungi daerah-daerah. Ini kemaren terpengaruh karena harga jagung (salah satu bahan baku pakan), naik Rp3.000 (per kg), otomatis harga tinggi. Tapi di Indonesia ini, kebiasaan makan ini susah dirubah tanpa perubahan pendapatan. Kalau pendapatan masyarakat, sebenarnya sudah berubah. Lihat saja impor daging, setara 400.000 ekor (sapi bakalan). Makanya saya bikin program satu juta ekor dengan cara membentuk 300 pembibitan. Setelah kita teliti ke Banten, nggak baik, karena nggak efisien. Bikin pembibitan harus di dekat perkebunan, katakanlah di dekat kebun sawit.

Bagaimana dengan perubahan kebiasaan makan? Kalau benar pendapatannya sudah bagus, mestinya konsumsi protein hewani lebih tinggi?

Di sinilah kita perlukan kampanye bersama. Itu kembali ke empat sehat lima sempurna. Tapi dengan berbeda-beda cara. Kampanye yang dulu salah, itu dasarnya konsumsi di Jawa. Di Sulawesi lain lagi, empat sehat lima sempurna itu. Kalau di sini daging, di tempat lain ikan. Kampanyenya salah itu dulu. Harus sesuai kebiasaan masing-masing.

Apa perlu menteri peningkatan produksi dan konsumsi dalam negeri seperti dulu?

Sebenarnya, waktu itu, menteri itu tidak bikin apa-apa. Hanya membikin regulasi. Kalau regulasi cukup di Menteri Perdagangan. Kampanye, juga soal regulasi. Regulasi sudah terlalu banyak. Sekarang yang diperlukan adalah peningkatan produktivitas dalam negeri.

Pupuk sangat penting dalam peningkatan produktivitas. Tapi kelangkaan pupuk itu sudah klasik?

Bukan klasik, memang itu masalahnya sejak dulu. Kenapa terjadi masalah pupuk? Pabrik kita tidak berkurang, tapi kebutuhannya yang naik. Katakanlah padi, dari 50 juta ton menjadi 60 juta ton. Naik 10 juta ton. Dari produktivitas 4,8 ton (per ha) sekarang di atas 5 (ton per ha). Berapa sawit dulu, sekarang nomor satu di dunia, berapa pupuk yang diperlukan. Produksi naik, secara simetris, pupuk naik, kita nggak nambah pabrik. Pabrik sudah tua. Jadi perlu revitalisasi pabrik pupuk. Yang tua-tua itu ganti dengan yang baru.

Berarti perlu prediksi permintaan yang tepat supaya tidak stag seperti sekarang ini?

Ya. Sekian tahun yang lalu, nggak berpikir jangka panjang. Tidak ada yang berani bikin revitalisasi industri ini. Sekarang ini untuk menghasilkan satu ton pupuk urea masih memakai 35 MMBTU gas, karena pakai teknologi 1960-an, 1970-an. Tidak efisien, akhirnya subsidinya besar sekali. Pabrik yang efisien itu 25 MMBTU gas. Harus ganti semua itu (pabrik pupuk) supaya harga pupuknya lebih murah. Biayanya US$6 miliar.

Dari mana sumber pendanaan merevitalisasi pabrik pupuk ini?

Nggak perlu keluar duit. Saya panggil perusahaan Jepang, kau mau gas nggak? Oke, tahun depan saya kasih gas. Dari mana, ya, penghematan dari pupuk ini. Kalau tadinya pakai 35 (MMBTU gas), sekarang, 25 (MMBTU gas) berarti ada penghematan 10 (MMBTU gas). Kita (produksi pupuk) ada 6 juta ton, berarti ada (penghematan) 60 juta MMBTU. Itu saja kita biarin untuk cicil pabrik baru tadi. Simple. Tanpa itu, kita kedodoran terus.

Harapan itu bisa terealisir sampai berjalan, butuh berapa tahun?

Kira-kira tiga tahun, karena sudah ada infrastrukturnya. Seperti Pusri, pabrik baru dibangun, yang lama dimatikan saja, jadikan cadangan. Kalau ada yang rusak bisa jalan lagi. Saya ke Kaltim, saya ke Gresik. Baru tiga pabrik yang di 25 MMBTU, yaitu yang di Cikampek sini, satu di Gresik. Jadi berbeda-beda.

Baiklah, dalam kondisi sekarang ini pangan cukup penting, terutama beras. Pemerintah bisa jatuh gara-gara beras. Bagaimana ketersediaan beras (padi)?

Negeri ini besar, masih impor (beras). Tahun depan (maksudnya tahun 2008) nggak boleh (impor beras). Naikkan produksi padi dua juta ton. Saya kumpulkan semua eselon I dan II (Departemen Pertanian), pokoknya tahun depan (maksudnya tahun 2008) kalau tidak (berhasil swasembada), saya jual kantor Departemen Pertanian ini. Tidak ada kantor Departemen Pertanian di seluruh dunia sebesar ini, kata saya. Ha...ha..ha. Syok semua. Begitu gagal tidak swasembada tahun 2008, kantormu saya kontrakkan, saya jual setengah.

Lantas, apa yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi padi?

Ini masalah bibit. Mana ahli bibit, saya minta kau bikin yang bagus. Kasih uang Rp 1 triliun, bibit gratis. (Mereka bilang), tapi susah Pak, nanti Polisi dan Kejaksaan Agung tangkapi kita karena nggak tender. Beri aja surat. Ini surat, kau nggak usah tender. Saya panggil Polisi dan Jaksa Agung, awas kalau kau tangkap ini orang, ini perintah saya. Jaksa mau tangkap (karena nggak tender) gak. Kalau kau tangkap, saya yang tangkap kau.

Apakah petugas-petugas pemerintah harus “ditekan” seperti itu supaya berhasil?

Ha..ha..ha. Ya, harus dibegitukan. Insya Allah kita swasembada tahun ini. Laporan terakhir, ARAM (Angka Ramalan) III sudah 60,5 juta ton (Gabah Kering Giling atau GKG). Cukuplah kita untuk swasembada. Kita surplus 3 juta-an. Kita tidak mengimpor (beras) satu ton pun tahun ini. Itulah ukuran swasembada. Tahun depan bisa ekspor. Coba, kita lihat tetangga, ribut krisis pangan, kita tenang-tenang. Sederhana. Negeri ini makmur.

Kalau dengan Bapak, sepertinya gampang, mudah, dan bisa, itu yang orang suka?

Ha...ha...ha. Saya nggak punya ilmu tinggi-tinggi. Saya nggak tahu teknisnya, tapi saya tahu prinsipnya. Ini logik saja. Kasih bibit (atau benih), dikontrol. Bibit nggak bisa dicuri, kalaupun dicuri nggak apa-apa, karena ditanam sendiri, jadi bagus. Nggak ada yang makan bibit. Dulu saya ke China, kita impor dulu (benih padi hibrida). Tommy Winata ikut, jangan lihat dia masa lalu, lihat masa depan. Lama-lama bisa bikin bibit (benih) sendiri.

Tapi, bibit atau benih ini masih banyak yang berasal dari luar negeri?

Tahap awal, ya. Tapi itu tergantung, seperti beras. Setelah mengimpor beberapa puluh ton, (sekarang) hampir semua di dalam negeri. Kita lihat penelitian beras di Sukamandi (BB Padi), seperti Maro. Saya berkunjung ke Jawa Timur seperti BISI (International), Monsanto, di tempatnya Charoen Pokphand, semua di dalam negeri.

Untuk menghasilkan bibit atau benih unggul, perlu dukungan lembaga penelitian?

Kita lihat penelitian beras (padi) di Sukamandi, ada Maro. Tapi, selama ini kurang diperhatikan. Ada penelitian gula di Pasuruan, aduuuh, saya marah betul dengan cara orang mengelola penelitian. Alamaak, labnya. Debunya. Penelitiannya tiga tahun yang lalu. Saya diperlihatkan bagan pabrik gula tahun 1960-an, 1970-an. Ini museum, ya. Saya tidak datang untuk melihat museum. Di Makassar, ada kepala penelitian, nggak tahu letak labnya. Kalau saya kepala di sini, hari kedua saya sudah tahu di mana labnya. Mana log book? Kau nggak bikin apa-apa. Yang pertama kali saya lihat, log book-nya. Ha..ha..ha.

Bukankah itu problem semua lembaga penelitian milik pemerintah?

Oh, ya. Berapa banyak doktor di lembaga penelitian kita, ada sekian-sekian. Tapi di Kediri, yang Charoen Pokphand, hanya dua atau tiga, tapi (hasilnya) bermacam-macam, bagus sekali. Nggak apa-apa. Di pemerintah seperti BLU (Badan Layanan Umum), kalau untung dapatlah you insentif, seperti karet di Sumatera Selatan dan sawit di Sumatera Utara.

Apa keberhasilan Bapak berkat pengalaman di swasta dan punya uang banyak?

Dulu juga banyak uang, tapi dipakai macam-macam. Tergantung kita targetnya apa dan bagaimana mencapainya. ‘Kan tidak susah. Cuma didorong aja. Ya, pengalaman saya waktu swasta, juga penting, tapi, cara mengetahui apa yang terjadi, tidak dengan laporan begitu aja.

Kalau semua punya etos seperti Bapak, bisa tambah bagus lagi?

Oh, ya. Saya ke Sulawesi Selatan, cokelat turun. Saya lihat kebunnya, alaamaak, virusnya. Tebang-tebang! Ganti semua bibitnya dengan yang baru. Berapa ongkosnya, Rp1 triliun. Saya kasih kau Rp1 triliun. Bagaimana caranya? Kasih dia bibit jagung. Jagung diurus selama setahun atau dua tahun. Kasih dia raskin supaya dapat beras. Dia hidup dari raskin dan hidup dari bibit jagung. Dua tahun atau tiga tahun, kembali (bagus) cokelat. Jalan...

Bapak sungguh serius, sampai-sampai pernah mempertaruhkan Partai Golkar?

Saya pernah taruhan. Saya ke pabrik gula di Subang, ketemu asosiasi (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia atau APTRI). Saya bilang, naikkan produktivitas, rendemen harus sekian. Bibit minta Menteri Pertanian. Pak Wapres, sudah lama seperti itu. Apa jaminannya berhasil. Nggak pernah jalan. Wah, saya tersinggung. Hei, jaminannya begini, kalau gagal, jangan pilih partai saya, kan tahu Golkar, jangan kau pilih. Tapi, jangan pula pilih PKS, ada menterinya. Tapi, kalau berhasil, kau pilih aku. Saya pertaruhkan Partai.

Hasilnya?

Delapan bulan kemudian saya lihat dengan rute yang sama. Ketemu Wahid (Abdul Wahid, Ketua Umum APTRI). Gimana? Turun atau naik kau punya produksi? Naik. Pabrikmu sudah bagus? Sudah baik Pak. Baru kasih Rp 3 triliun sudah naik. Nah, bagaimana, dulu janji kau apa? Ha...ha. ‘Kan taruhan. Ya, Pak, Bapak yang menang.

Wah, kalau begitu, semua petani tebu harus pilih Partai Golkar, dong?

Ha...ha...ha. Itu saya mau membuktikan, betapa seriusnya.

Tapi, beberapa waktu lalu, petani tebu membakar tebu, gara-gara gula rafinasi?

Ah, itu simbolis saja mereka. Mereka pingin Rp5.000 (per kg), susahnya harga gula di luar negeri turun. Kalau tidak ada (gula) rafinasi, Coca Cola atau apalah, nggak bagus juga kalau kemahalan. Ini ‘kan bagaimana mengharmonisasikan. Raw sugar, masuk ke rafinasi.



Tim Pewawancara:

Syatrya Utama, Peni S. Palupi, Adji Sudomo, Krus Haryanto, Fitri N. Poernomo, A. Dawami.

Bookmarks