Minggu, 14 Juni 2009

Kedaulatan atas Migas masih minim

Kedaulatan atas Migas masih minim

Writer :Business
Publisher :bisnis Indonesia
Updated :28.08.2008 00:00

bisnis Indonesia
Kedaulatan atas migas masih minim

Meski sudah merdeka 63 tahun, kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya di sektor energi dan mineral, masih minim.

Akibatnya, sektor ini tidak dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kondisi ini ditunjukkan oleh sedikitnya dua hal.

Pertama, bangsa ini tidak bisa menikmati harga minyak men tah dunia yang melambung tinggi. Padahal, kita merupakan salah satu produsen migas, bahkan sebelumnya sempat menjadi negara pengekspor.

Ketika harga minyak dunia mencapai level tertinggi, yaitu US$147,02 per barel, sekitar medio Juli 2008, negeri ini justru mengalami kesulitan. Ini karena pada harga US$126 per barel saja, subsidi BBM dalam APBN-P 2008 membengkak menjadi Rp190 triliun.

Membengkaknya subsidi itu merupakan beban berat di tengah kesulitan keuangan negara. Untuk menguranginya, pemerintah menaikkan harga BBM (premium, solar, minyak tanah) rata-rata 28,7% yang berlaku pada 24 Mei 2008.

Masalahnya menjadi makin serius tidak hanya karena harga BBM yang tinggi, tetapi juga pasoknya yang sempat langka, bahkan di daerah penghasil migas sekalipun. Kondisi ini terjadi bersamaan dengan kelangkaan pasokan listrik dan gas elpiji di sejumlah daerah.

Apa yang dialami sektor energi ini sesungguhnya merupakan ironi yang sangat besar bagi Indonesia. Betapa tidak! Negeri ini memiliki berbagai sumber energi, selain migas, yang beragam, yaitu batu bara, tenaga air, panas bumi, dan biomassa.

Kedua, kendati memiliki berbagai sumber energi yang beragam dan banyak, Indonesia tetap saja tergolong negara berkembang.

Sebagai salah satu dari 10 produsen gas bumi terbesar dunia, Indonesia memiliki cadangan terbukti dan cadangan potensial 170 triliun kaki kubik-180 triliun kaki kubik (TCF).

Dengan konsumsi sekitar 2,693 TCF per tahun pada 2007, deposit itu diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan energi nasional sedikitnya 60 tahun mendatang.

Produksi gas mencapai 2,783 TCF pada 2007. Dari jumlah ini, sebagian besar diolah menjadi LNG dan LPG/elpiji, selebihnya untuk pembangkit listrik dan industri petrokimia.

Oleh karena itu, konsumsi energi sudah saatnya dialihkan dari minyak ke gas bumi, batu bara, tenaga air, panas bumi, dan biomassa.

Cadangan batu bara yang ada, sekitar 50 miliar ton (3% dari potensi dunia), diperkirakan dapat digunakan hingga sedikitnya 150 tahun ke depan.

Cadangan panas bumi 27.000 MW (40% potensi dunia) dan tenaga air 75.000 MW (0,02% potensi dunia).

Deposit keempat jenis sumber energi ini jauh lebih besar daripada minyak, yang diperkirakan habis sekitar 15 tahun lagi bila tidak ada eksplorasi baru. Negeri ini memiliki cadangan minyak sekitar 9,7 miliar barel, yang sekitar 4,7 miliar barel merupakan cadangan terbukti.

Lifting energi

Tahun ini, lifting minyak mentah sekitar 927.000 barel per hari (bph), turun dari 950.000 bph pada 2005. Padahal, pada 2003 lifting minyak sekitar 1,3 juta bph, bahkan pada 1995 sempat mencapai 1,5 juta bph.

Lifting minyak terus menurun, sebaliknya lifting energi terus meningkat, yang kini mencapai 4,427 juta bph setara minyak mentah.

Pertanyaannya, cadangan sumber energi itu sebenarnya milik siapa? Berdasarkan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 (naskah asli), deposit itu milik negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Karena milik negara, pemerintah lalu mengundang perusahaan asing. Kebijakan ini dapat dipahami mengingat saat itu, terutama pada era Orde Lama dan Orde Baru, Indonesia memiliki keterbatasan dalam hal modal, teknologi, SDM yang bermutu, dan pengetahuan mengenai teknik penggunaan sarana pasar modal.

Maka masuklah perusahaan asing di bidang migas dan mineral, a.l. Caltex, Stanvac, BPM/Shell, Gas Unie, Biliton, Mobil Oil (sekarang ExxonMobil), Beyond Petroleum (sebelumnya British Petroleum), Freeport McMoRan, dan Newmont. Masuk pula perusahaan asing di sektor pertanian, pengolahan dan perdagangan hasil pertanian seperti Onderneming, Borseuhmij Wehri, Lindeteves, Hagemeijer, Unilever, dan Phillips.

Upaya menarik investasi kemudian dilegitimasi oleh kehadiran UU No. 1/1967 tentang PMA dan UU No. 6/ 1968 tentang PMDN. Kedua UU ini kemudian direvisi menjadi UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Berbagai perusahaan asing tersebut diwajibkan pemerintah saat itu untuk membangun industri pengolahan minyak di Plaju, Sungai Gerong, Balikpapan, Lirik, dan Pendopo.

Sementara itu, perusahaan asing di sektor pertanian dan perdagangan dinasionalisasi menjadi BUMN, seperti Perusahaan Negara Perkebunan (lalu menjadi PT Perkebunan dan selanjutnya menjadi PTPN), PT Pantja Niaga, PT Dharma Niaga, dan PT Tjipta Niaga.

Sejumlah perusahaan asing itu berkembang pesat, bahkan ada yang menjadi raksasa. Dengan laba yang begitu besar, kapitalisasi pasar ExxonMobil dan Freeport McMoRan, misalnya, menjadi berlipat ganda. Posisi ini membuat mereka makin mudah menerbitkan obligasi/menggelar initial public offering (IPO) atau memperoleh kredit dari perbankan dengan mengagunkan cadangan migas dan mineral negeri ini.

Tindakan ini dibolehkan. Apalagi perusahaan asing itu telah memperoleh hak pengelolaan migas dan mineral dari pemerintah. Hak ini memiliki nilai strategis yang dapat memperbesar skala usaha mereka.

Dalam memperoleh kredit, perusahaan asing seharusnya tidak diperbolehkan mengagunkan seluruh deposit migas dan mineral yang ada. Besarnya agunan itu seharusnya disesuaikan dengan bagi hasil yang merupakan bagian dari perusahaan asing atau mitra lokal tersebut, yaitu 15% untuk minyak dan 35% untuk gas.

Kedaulatan minim

Namun, tidak demikian halnya dengan negeri ini, yang tidak bisa langsung mengelola deposit itu kecuali menguasakannya kepada perusahaan negara atau swasta. Maka didirikan BUMN, seperti PT Pertamina untuk mengelola migas sebagai warisan dari Shell, PT Tambang Batubara Bukit Asam untuk batu bara, PT Tambang Timah untuk timah.

Ini menunjukkan betapa minimnya kedaulatan negara atas pengelolaan migas dan mineral. Padahal, jika kedaulatan itu cukup besar, kita tidak perlu lagi mengandalkan kontrak production sharing guna memperoleh pendapatan dan keuntungan dalam jumlah besar.

Sebagai contoh, dengan lifting migas 2,427 juta bph setara minyak mentah dan harga minyak US$125 per barel, diperoleh pendapatan sehari sekitar US$303,375 juta atau setahun US$109,215 miliar. Setelah dikurangi biaya eksplorasi (termasuk cost recovery) 25% dan pajak 35% diperoleh laba bersih US$53.242.312.500.

Negara bahkan bisa memperoleh dana untuk mengembangan sektor migas dan membiayai pembangunan dengan menggelar IPO. Bila sekitar 20% dilepas di bursa saham, dengan price earning sekitar 20 kali, nilainya mencapai US$212.296.925.000.

Untuk memperlancar proses dan meminimalkan munculnya protes keras, dikeluarkan sekitar 4% dari total dana hasil IPO, senilai US$8.491.877.000. Dana ini termasuk untuk membayar fee underwriter, proses politik di DPR, sosialisasi, dan publikasi di media massa.

Keuntungan negara makin besar apabila harga migas dunia terus meningkat.

Minimnya kedaulatan negara tersebut merupakan masalah penting yang harus segera dipecahkan. Oleh karena itu, Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, perlu diubah.

Di sisi lain, ada preseden dari gerakan nasionalisasi perusahaan migas di Amerika Latin. Maka pengalaman Venezuela dan Bolivia, misalnya, mungkin perlu dipertimbangkan untuk dijadikan model di negeri ini.

Apakah dengan begitu kita menjual hak dan aset negara? Bukankah Pertamina milik negara dan otomatis milik rakyat?

Bukankah dengan listing di pasar modal dan menjual saham kepada publik 15%-20%, efeknya akan sama seperti sistem kontrak 'bagi hasil' yang kita terapkan dalam pengelolaan migas bersama perusahaan asing atau mitra lokal?

Tidakkah kita dapat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Freeport dan PT Bumi Resources Tbk, di mana pemegang sahamnya menjadi orang terkaya di dunia karena mereka pandai dan mempergunakan sarana pasar modal?

Oleh Peter F. Gontha
Komisaris PT Satmarindo

Interview dengan Bisnis Indonesia perihal penjualan SCTV pada P.T.Bhakti Investama

Interview Peter F gontha , tentang Panejualan SCTV pada P.T. Bhati Investama, diambil dari gontha.com

Interview dengan Bisnis Indonesia perihal penjualan SCTV pada P.T.Bhakti Investama

Writer :questions : Bisnis Indonesia, Answer by Peter F. Gontha
Publisher :Gontha.com
Updated :4.12.2000 00:00

Gontha.com
Saudara Meta Yth.

Saya pikir sebaiknya saya jawab saja perytanyaan anda. Jawabannya telah saya sampaikan kepada Pak Hari juga. Saya telah meminta komentar Pak Hari dan dibawah adalah jawaban yang lengkap termasuk jawaban Pak Hari yang saya perbaiki menurut faktanya. Pak Hari bisa saja tidak menyetujui penjelasan kami namun kami persilahkan ditanya langsung saja.
Yth.Bp. Peter Gontha,

Melalui e-mail ini terdapat beberapa hal yang ingin saya konfirmasikan, sehubungan adanya beberapa keterangan yang diberikan Bp.Hary Tanosoedibjo atas rencana pembelian saham SCTV.

1. Dari obligasi yang dikeluarkan Datakom senilai US$260 juta, Bp. Hary mengatakan Bhakti telah bersedia membeli obligasi tersebut sebesar US$20 sen sehingga totalnya mencapai US$56 juta. Hanya disebutkan, belum semua pemilik obligasi mau menjual obligasi itu kepada Bhakti dengan harga tersebut. Apakah hal ini benar dan bagaimana sesungguhnya proses yang telah disepakati sejauh ini? Datakom sendiri apakah telah menyepakati sebelumnya tentang hal ini?

jawaban kami:

Untuk pertama kali saya mendengar bahwa Pak Hary, (Bhakti) yang akan membeli obligasi kita. Menurut saya tidak benar. Bahkti hanya membeli saham Datakom di SCTV, lainnya tidak ada. Ini justru yang saya tawarkan, bahwa Bhakti boleh membeli bond kita ditukar dengan saham SCTV. Tapi Bhakti tidak setuju, mereka tidak bersedia menjamin untuk membeli semua, sehingga kita menunjuk sebuah lembaga perantara untuk berhubungan dengan para Bondholder. Namun demikian Datakom yang akan membeli kembali sendiri, dan akan menanggung sendiri "HOLD-OUT" kalau ada. Tapi kalau Bhakti memang mau membeli semuanya dengan harga $20 cent...saya hanya dapat mengatakan Puji Tuhan, Alhammdullilah. Mohon konfirmasikan lagi saja dengan Pak Hari. Yang sebenarnya terjadi bahwa Bhakti menyediakan dana USD45 juta untuk pembelian saham SCTV milik Datakom dan CB SCTV (hutang SCTV kepada sebuah perusahaan afiliasi Datakom) yang menurut Bhakti dananya dapat dicairkan setiap saat. Dana ini ditambah dengan dana internal Datakom akan dipakai oleh Datakom untuk membeli kembali obligasi Datakom dan pembayaran sebagian hutang Datakom/afiliasi Datakom kepada BPPN.

Perlu saya tambahkan bukan $ 56 juta tapi hanya $ 45 juta. Sekarang keuntungan SCTV mencapai diatas $20.000.000 per tahun. Jadi dengan PE hanya 12 saja harga kapitalisasi SCTV mungking US$ 240.000.000 Bagian kita adalah effective 51%, jadi sebetulnya harganya harusnya US$120.000.000 tapi Bhakti hanya membayar US$ 45.000.000. Bagi kita tidak apa apa asalakan dapat membayar Hutang.

Namun demikian hal ini hanya dapat dilaksanakan setelah para pemegang obligasi tersebut, termasuk BPPN, memberikan persetujuan mengingat saham SCTV dan Tagihan Datakom pada SCTV sebesar US$ 20.000.000 (MCB) masih dalam status jaminan. Disamping itu Bhakti juga harusnya membayara pihak adviser (AFP) yang membantu pelaksanaan tersebut diatas sebesar USD450,000 plus semua biaya penasehat hukum. Ternyata samapai sekarang fee sebahagian fee tersebut kami bayar sendiri. Sebagai kompensasinya, Bhakti akan memperoleh saham SCTV yang dimiliki oleh Datakom dan CB SCTV.

2. Kemarin, Bapak menyebutkan bahwa sebelum ini Bhakti telah menyatakan akan menebus obligasi itu dengan menyerahkan saham AGIS, namun tidak terealisasi hingga saat ini. Berapa total nilai saham AGIS yang dijanjikan?

Jawaban Kami:

Total saham Agis yang dijanjikan adalah senilai US$ 60.000.000, namun alasan dari Bhakti adalah bahwa pelaksanaannya harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan antara lain dari bondholder dan BBPN selaku kreditur Datakom dan afiliasi Datakom (MTI) yang sampai saat ini masih belum diperoleh. Namun sebenarnya waktu yang diajukan Bhakti terlalu seingkat dan menurut Bapapeam harus dilakukan sesuai tutup Buku satu tanggal tertentu, Bhakti sebelumnya menjanjikan bahwa mereka akan mengurus segala sesuatu dengan Para pemegang Obligasi Datakom dan BPPN , dengan persentasi dan road show tapi itu tidak terlaksana. Kami hanya berpatok pada tanggal yang diajukan Bhakti. Memang AGIS adalah perusahaan publik dan dalam melakukan akuisisi dan right issue, kesepakatan-kesepakatan dengan para pihak, termasuk dengan para kreditur harus terlebih dahulu diperoleh sebelum dapat menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada BAPEPAM, tapi sesuai perjanjian ini adalah tanggung jawab Bhakti.

3. Bapak juga menyebutkan pada prinsipnya akan menjual seluruh kepemilikan saham Datakom di SCTV. Apakah hal ini akan tetap dilakukan meski sengketa komposisi saham SCTV paska RUPSLB belum tuntas?

jawaban kami:

Ini kita lakukan untuk membayar Hutang, jadi kalau dealnya tepat dan pas, dan juga meringankan perusahaan dari Hutang, maka kenapa tidak? Tetapi Transasksi-nya harus jelas dan menguntungkun semua pihak. Kita kan berhutang kepada Kreditur dan Negara melalui BPPN, Kita lahir tanpa sesuatu, kalau pun kita harus menjual atau kehilangan sesuatu untuk meringakan beban Negara mengapa tidak meskipun perushaan atau Assets tersebut sangat berharga bagi kami? Kita selalu dapat membangun kembali sesuatu kalau kita mau berusaha dan mendapat berkatnya. Negara jangan dirugikan, dan kita harus bersedia menjual Asset perusahaan yang dapat menghasilkan uang agar kita sama-sama meringkan Negara dan Rakyat, mengapa tidak memang prinsip saya dari dulu. Semoga pengusaha yang lain juga melakukannya. Namun demikian timing juga sangat menentukan karena jika hal ini mundur terlalu lama, semua pihak juga akan dirugikan, mulai dari karyawan, majamenen, pemegang saham, para kreditur termasuk BPPN, dan para stakeholders lainnya. Namun tentunya saya sedih bahwa yang beruntung justru orang lain dan bukan Negara. Tapi ya sudahlah ini adalah keuntungan Bhakti, apa boleh buat.

4. Selain kepada Bhakti, apakah ada rencana untuk menjualnya ke investor lain?

jawaban kami:

Kami ada 2 kandidat lain, namun berhubung kami juga merasakan keinginan utnuk menyelesaikan hal ini secepat mungkin kita menunggu sampai Bhakti mengatakan bahwa mereka akan mundur atau tidak jadi melaksanakan transaksi tersebut. Saya sangat mengharapkan Bahwa Bhakti dapat memenuhi janjinya, termasuk melobi para pemegang Bond untuk mengizinkan Datakom membeli kembali seluruh obligasinya seperti yang dijanjikannya. Dalam hal ini, Bhakti tidak menempati janjinya. Kesepakatan yang dilakukan adalah Bhakti membeli saham SCTV milik Datakom dan CB SCTV milik afiliasi Datakom (MTI) sebesar USD45 juta, "subject to" persetujuan dari para kreditur, yaitu pemegang obligasi dan BPPN mengingat kedua obyek saham SCTV dan CB SCTV dalam status jaminan. Mengenai persetujuan dari para kreditur tersebut, Bhakti telah menunjukkan itikad baiknya dengan membantu Datakom dibanyak hal, antara lain :
Telah menyelesaikan draft perjanjian-perjanjian melalui lawyer-nya sejak tanggal 12 Oktober 2000, namun sampai dengan hari ini belum kami komentari karena memang dealnya belum jelas dan Bhakti kelihatannya ingin menag sendiri karena memang berada di posisi yang kuat.
Bhakti memang, secara lisan, sepakat untuk menempatkan dana USD45 juta kedalam escrow account setiap saat.
Kami meminta kesepakatan Bhakti untuk membayar fee adviser sebesar USD450,000 dan sebagian dari lawyer's fee yang mewakili Datakom sebagai salah satu persyaratan kami.
Bhakti berjanji "melobi" seluruh Bondholder dan BPPN agar dapat memberikan persetujuan. Tentunya keberhasilannya bukan berada ditangan Bhakti karena yang berhutang bukan Bhakti tapi Bhakti berjanji untuk melakukan tugas ini dan menyelesaikannya secara Tuntas.
Bhakti mengatakan bahwa dalam hal ini banyak faktor "X" yang berperan termasuk kerja sama semua pihak "in good faith" untuk mewujudkan suatu tujuan yang sama sesuai yang dijanjikan. Kita tidak mengerti maksud dari faktor "X" tersebut.

5. Ketidak setujuan Datakom atas injeksi dana Rp 100 miliar yang menyebabkan terdilusinya saham datakom di SCTV, dikarenakan hal itu dimasukkan dalam agenda lain-lain RUPSLB (bukan agenda tersendiri). Mohon penjelasan lebih terinci tentang hal ini.

jawaban kami:

Betul sekali. Ini lah yang menjadi masalah di Indonesia. Para pemegang saham minoritas selalu menjadi bulan - bulanan pemegang saham mayoritas. Ini menjadi masalah. Pertanyaan anda memang betul, inilah yang terjadi,. Direksi tidak mengacarakan agenda tersebut.tapi dimasukkan didalam acara lain lain sehingga ini menjadi masalah. datakam dihadapkan dengan "faith a compli" didalam rapat tersebut dan dikatakan bahwa Datakom tidak berhak apa - apa karena pemegang saham minoritas. Anda kan tahu siapa pemegang saham majoritasya yang didanai oleh Bhakti? Inilah yang kita lawan. Pada masa masa sulit SCTV, kami di Datakom yang melakukan dan mengarahkan Direksi untuk effisiensi sampai menjadi Satsiun TV yang effisien dan menguntungkan. Kita putuskan untuk mengkonsolidasi semua kegiatan dibawah satu atap. Kita berikan transponder murah melalaui Cakra Warta termasuk ruangan gedung dengan harga murah (sebanyak 5 lantai lebih). Namun begitu menguntungkan maka terjadilah hal hal yang sebetulnya harusnya sudah kita antisipasi. Untung Di Indonesia ada undang undang yang melindungi pemegang saham minoritas, hanya saja hal itu tidak pernah dilaksanakan. Semoga......achirnya keadilan dan pemerataan dapat terjadi dalam skala kecil maupun besar. Semoga dalam keadaan reformasi ini ada kebenaran dan keadilan.Bhakti mengaku dalam posisi tidak tahu menahu dalam hal ini karena hubungan Bhakti bukan pada tingkatan SCTV pada saat hal tersebut diatas terjadi namun menurut hemat kami ini dalah alasan saja, karena pada waktu Bhakti memasukkan dananyna di perushaan Holding pemegang saham SCTV lainnya kan diketahui pengunaan dananya. Ditambah lagi waktu ada dispute ternyata Bhakti yang memegang peranan. Sekarang juga yang membeli bukan siapa-siapa tapi Bhakti dan bukan kelompok pemegang saham SCTV lainnya.

jawbana kami:

Demikian beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan. Mohon bantuan Bapak untuk dapat menyampaikan jawaban tersebut secepatnya.Atas perhatian Bapak, saya ucapkan terimakasih.

Terima kasih atas pertanyaan anda yang lurus lurus saja. Agar supaya jawaban kami menjadi lurus adanya akan kami sampaikan pertanyaan dan jawabannya pada media lain seperti ,Quick Channel, Radio Mandiri, Mandiri.com, Indo Observer, AStaga.com dan beberapa media lainnya, agar supaya dapat diketahui masyarakat luas dengan fakta yang seadanya. Pertanyaan dan jawaban ini akan kami sampaikan dulu pada Pihak Pak Harry agar tidak terjadi salah tafsir, dan akan kita Posting juga di Gontha.com. Semoga anda tidak keberatan. tentunya akan kami sampaikan bahwa ini adalah bersumber pada pertanyaan dari anda dan kredit kami berikan kepada anda sebagai Insan pers dari Bisnis Indonesia. Bhakti mengatakan tidak dalam posisi memberikan komentar atas hal ini, tetapi Bhakti yakin waktulah yang akan membuktikan pada akhirnya. Kamipun Yakin bahwa waktu akan menentukannya semua.

Hormat kami

Peter Gontha

Sabtu, 13 Juni 2009

cara Mengetahui SIapa Yang Punya Situs WEb, TCP /IP.

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.

Tragedi Bukit Kodok....

Tragedi Bukit Kodok


Suatu hari pergilah 3 orang pria ingin menikmati indah nya alam dan
tujuan mereka adalah mendaki sebuah bukit. Tibalah mereka ke pos dimana
ada seorang juru kunci yg menjaga bukit tersebut. Sebutlah nama 3 pemuda
tadi BTM, DC dan JB.

Pertama-tama BTM yg memutuskan untuk mendaki
bukit tersebut, kemudian bergantian dengan DC dan JB. Pada saat mau
mendaki, si juru kunci membisikkan pesan ke BTM," nak BTM, bapak pesan,
jangan sekali2 menginjak kodok selama mendaki bukit itu". kata btm," loh
knapa emang pak?", juru kunci, "nanti jodoh nak BTM tidak secantik yg nak
BTM inginkan..., bener lo bapak sangat wanti2, pesen bapak ini mohon di
perhatikan ya?". dalam hati BTM bilang, ah cuma tahayul, ngapain
juga diperhatiin. kata BTM."iya pak, makasih". dan mendakilah BTM ke
bukit itu.

Setelah btm turun, giliran DC yg mendaki bukit itu. DC
memperoleh pesan yg sama dari juru kunci mengenai kodok itu, dan DC pun
menganggap itu juga tahayul.

Kemudian giliran JB yg mendaki bukit
itu. "nak JB tolong benar2 perhatikan pesan bapak ya? bapak mohon
nak....", kata juru kunci kepada JB."baik pak, saya akan perhatikan kata2
bapak", kata JB. dan JB mendaki bukit itu dengan hati2 sehingga tidak
ada kodok yg terinjak olehnya.

5 years later......

BTM, DC dan JB menghadiri suatu reuni dimana mereka bertiga sudah sama2 punya pasangan
dan turut hadir dalam acara itu. Seperti biasa di pertemuan2 yg menghadirkan pasangan, banyak tamu yg memperhatikan para tamu lain yg datang pada acara itu. Tak luput diperhatikan pula BTM, DC dan JB beserta pasangannya.

Kasak kusuk para tamu memperhatikan para pasangan yg lainnya. Pasangan BTM ama DC sangat biasa2 saja jauh dari cantik bila dibanding dengan pasangan JB. pasangan JB sangat cantik sehingga mengundang keingintahuan kenapa kok bisa JB dapet orang yg se cakep itu. Salah satu tamu bertanya ke jeng JB,"jeng, jeng, kenapa sih kok bisa dapet om JB? apa ada rahasia2 tertentu?".
jeng JB bilang," gini loh mas......dulu...saya pernah nginjek kodok......"

^%^$%#$@#@@#!~~!@!@@#@#$#$$%$^%^$%#$@#@@#!~~
!@!@@#@#$#$$%$%&^**)*((%^%#$#!@!@!%&^**)*((%^%#$#!@!@!

Sejak saat itulah bukit tersebut dinamakan bukit kodok atau frog hill. Tragedi ini bisa menjadi peringatan untuk para cewek agar jangan sampai menginjak kodok.
Begitu pula untuk para cowok untuk tidak menginjak kodok. Percaya nggak percaya tragedi ini bisa terulang lagi jika tidak mengindahkan nasehat ini.

Kamis, 11 Juni 2009

SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO: BEGAWAN YANG GEMAR MENGKRITIK

dikutip dari http://permesta.8m.net/tokoh/interview_soemitro.html

sebelumnya saya sudah pernah post tentang TOkoh SUmitro djoyohadikusumo, di postingan buln lalu... ini saya post lage dari website laen,.

SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO: BEGAWAN YANG GEMAR MENGKRITIK

Perjalanan kariernya sangat panjang dalam dunia akademik dan pemerintahan. Pada usia muda ia meraih gelar doktor. Umur 33 dipercaya jadi menteri. Selain menjadi guru besar UI, ia pernah menduduki pelbagai jabatan kunci di bidang ekonomi dan pemerintahan. Tapi ia pun aktif di berbagai forum internasional memperjuangan nasib republik ini.

Gayanya yang ceplas-ceplos dan blak-blakan menjadi ciri khas. Sebagai "begawan" ekonomi, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo memang selalu kritis. Setelah menjadi besan Presiden Soeharto pun ia tetap melancarkan kritik tajam terhadap jalannya roda pembangunan. Baginya, perkawinan anak laki-lakinya Letjen Prabowo Subianto dengan Siti Hediyati (putri Soeharto) pada Mei 1983 hanyalah historical accident.

Salah satu kritiknya yang tajam ialah pernyataannya tentang kebocoran 30% dana pembangunan yang dilansir di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-12 di Surabaya, November 1993. ISEI sendiri didirikan Sumitro tahun 1955.

Bila Sumitro - yang pada 1985 menjadi anggota seven eminent persons dengan tugas menyusun rekomendasi kepada GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) - sudah kelewat keras mengkritik, biasanya menantunya datang kepadanya untuk menyampaikan pesan Presiden Soeharto.

"Ada apa, Tiek? Ada pesan dari Bapak?" sambut Sumitro.

"Ya, Bapak bilang, 'Tiek, mertuamu sudah priyayi sepuh kok masih radikal saja'!" ujar Siti Hediyati alias Titiek Prabowo.

"Ya, saya memang sudah terlalu tua untuk mengubah diri!" jawab Sumitro enteng.

Masih soal sinyalemen kebocoran itu, ketika bertemu Sumitro, Soeharto langsung berkata, "Kok, Pak Mitro suaranya begitu?"

Sumitro menjelaskan, sejak mahasiswa ia biasa bicara apa adanya, melihat suatu masalah lalu mencari problemnya kemudian mencari pemecahannya. "Dalam hal ini problemnya apa? Banyak. Pemborosan. Orang bilang ekonomi biaya tinggi. Bagaimana ini, lalu saya cari fakta, dan faktanya memang begitu. Kalau Bapak ingin fakta, tanya pada Biro Pusat Statistik," ucap Sumitro, penerima Bintang Mahaputra Adipradana II.

Dengan nada agak sinis Sumitro menambahkan, "Saya tidak punya antena ke angkasa luar, Pak. Ini hitung-hitungan berdasarkan analisis ilmiah."

"Alhasil, ini bukan pat gulipat, angka 30% bukan datang dari langit, atau dari paranormal Permadi!" tegas Sumitro, yang pada 1953 oleh Sekjen PBB diangkat sebagai anggota lima ahli dunia (group of five top experts).

Presiden memahami penjelasan itu namun ia menekankan, "Tapi, mbok ya jangan disiarkan, Pak Mitro."

Ketika krisis ekonomi semakin memukul Indonesia, akhir 1997, Sumitro kembali membuat pernyataan tajam. Dalam tubuh ekonomi nasional melekat berbagai macam penyakit, seperti distorsi dalam bentuk monopoli, oligopoli, kartel, proteksi yang berlebihan, dan subsidi untuk barang-barang tertentu.

Sumitro melukiskan, "Kalau kita hanya bicara ekonomi moneter, obatnya cukup Aspirin. Tapi kalau institutional disease, sudah perlu antibiotika. Dan saya yakin bisa diatasi dengan antibiotika, tidak perlu sampai diamputasi, karena masih ada kesempatan untuk segera bertindak. Namun, paket untuk mengatasi disease itu harus dilakukan tanpa pandang bulu dan tak boleh ada intervensi." (Kompas, 11/1/1998).

Dicuekin Bu Tien

Menanggapi soal adanya kolusi antara oknum pejabat dengan oknum konglomerat, Sumitro menegaskan, "Saya tidak setuju ada kolusi dengan alasan apa pun. Hal itu harus diberantas!"

Dalam hal ini ia punya pengalaman menarik. Ada pengusaha yang berusaha "menyogok" dengan mengirim bunga kepada istrinya. Di balik bunga itu terselip perhiasan emas dan berlian! Sumitro memanggil sekretarisnya, Babes Sumampouw, "Babes, apa-apaan ini. Kirim kembali, pulangkan!"

Pengusaha itu datang mengeluh, "Pak Mitro, mengapa begitu?" Sumitro pun menjawab, "Hati-hati kamu, ya, lain kali. Kamu masih untung saya menteri. Sembrono kamu, kasih perhiasan kepada istri saya. Enggak ada orang lain yang berhak memberi perhiasan kepada istri saya. Itu 'kan menghina seorang suami."

Pengalaman lain, usai menyelesaikan tender impor cengkeh, Sumitro dikejutkan oleh laporan Ali Moertopo bahwa Ibu Tien Soeharto marah-marah kepadanya. Ibu Tien berharap Sukamdani yang mendapat tender, tapi kenyataannya yang menang Probosutedjo dan Liem Sioe Liong.

Sejak peristiwa itu, lebih dari setahun Ibu Tien tak mau menegur Sumitro. Kalau mereka berjumpa, Ibu Negara itu melengos, membuang muka. Biarpun begitu, terhadap Dora Sigar, istri Sumitro, sikap Ibu Tien tetap baik dan mau mengajak bicara.

Meski lima kali menjabat menteri di masa Orde Lama dan Orde Baru, toh ia tetap rendah hati. Seperti yang terjadi ketika ia menghadiri suatu resepsi pernikahan.

"Monggo ... monggo, Pak, terus lajeng kemawon (Silakan, Pak, terus saja ke depan)," pinta anggota panitia, mempersilakan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang berada dalam antrean para tamu untuk menyalami mempelai.

"Sampun ... matur nuwun (terima kasih)," tolak Pak Cum, panggilan akrabnya. Sementara itu para tetamu VIP dan mereka yang merasa VIP, saling menyalip maju dan sibuk berfoto ria bersama pengantin.

Sikap rendah hati barangkali bawaan sejak lahir. Tetapi sebagai orang tua ia dikenal keras dan disiplin dalam mendidik keempat anaknya. Buktinya, putri tertua, Ny. Biantiningsih yang istri mantan Gubernur BI J. Soedrajat Djiwandono, sampai memiliki dua gelar kesarjanaan. Begitu juga Ny. Marjani Ekowati, putri kedua yang menikah dengan orang Prancis. Letjen Prabowo Subianto berhasil meniti karier cemerlang sebagai Danjen Kopassus dan Pangkostrad. Lalu si bungsu Hashim Sujono menjadi pengusaha sukses.

Namun di usia senjanya, berbagai cobaan menerpa. Karier Prabowo di militer tamat, Soedradjat Djiwandono sang menantu lengser sebagai Gubernur BI. Tapi keluarga Sumitro tetap tegar. "I've been through worst. Ini bukan yang pertama kali!" katanya lantang. "Ujian buat saya dalam kehidupan jauh lebih dari itu, habis dari menteri lalu tiba-tiba jatuh jadi buronan, ha-ha-ha!" tutur penyandang gelar doctor honoris causa dari Erasmus University Rotterdam ini.

Doktor di usia muda

Anak pertama keluarga R.M. Margono Djojohadikusumo dan Siti Katoemi Wirodihardjo ini mempunyai riwayat hidup yang cukup mengesankan, seperti tertuang dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, terbitan Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Setamat Hogere Burger School (HBS), pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 29 Mei 1917, ini berangkat ke Belanda akhir Mei 1935. Sempat dua bulan "mampir" di Barcelona, Sumitro akhirnya ke Rotterdam untuk belajar. Dalam tempo dua tahun tiga bulan, gelar Bachelor of Arts (BA) diraihnya. Ini rekor waktu tercepat di Netherlands School of Economics. Ia lalu melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne, Paris (1937 - 1938).

Antara 1938 - 1939 di Prancis, Sumitro bergabung dengan kelompok sosialis dan berkenalan dengan tokoh dunia seperti Andre Malraux, Jawaharlal Nehru, Henri Bergson, dan Henri Cartier-Bresson. Sempat ikut latihan militer di Catalonia, tapi gagal masuk Brigade Internasional karena belum 21 tahun umurnya.

Dari Paris, Sumitro kembali ke Rotterdam, melanjutkan studi ekonomi. Ia memasuki periode penulisan disertasi saat Nazi Jerman menyerang Belanda, 5 Mei 1940. Pimpinan Nederlandse Economische Hogeschool menunjuk Prof. Dr. G.L. Gonggrijp sebagai promotornya. Disertasinya mengenai "Kredit Rakyat (Jawa) di Masa Depresi" diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi Nederlands Economische Hogeschool.

Gelar Master of Arts (MA) diraih tahun 1940. Usianya baru menjelang 26 tahun saat ia menyandang gelar doktor ilmu ekonomi.

Belajar jadi "penyelundup"

Pada masa proklamasi kemerdekaan RI, Sumitro tergolek sakit di pembaringan hampir setahun lamanya. Ia menjalani operasi tumor usus besar tanpa antibiotika. Beruntung ia selamat dari ancaman maut.

Pagi, 18 Agustus 1945, Kota Rotterdam dikejutkan oleh berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Radio Hilversum. Berita itu memberikan kekuatan sugestif bagi kesembuhannya.

Saat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersidang di Church House, London, 17 Januari 1946, ia dan Mr. Zairin Zain ikut hadir. Seusai sidang, Sumitro dan Zairin terbang ke Jakarta. Tiba di rumah orang tuanya, Sumitro disambut suasana duka: dua adiknya, Subianto (21) dan Sujono (16) gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Tangerang.

Kenyataan ini memperkuat tekadnya untuk melawan Belanda dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI. Bersama Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Sumitro dan Zairin pada 14 Maret 1946 menyusun argumentasi baru untuk menghadapi diplomasi Belanda.

Dunia internasional menolak Agresi Militer Belanda, 21 Juli 1947. India dan Australia, 30 Juli 1947, membawa persoalan Indonesia ke Sidang Dewan Keamanan di Lake Success, AS. Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Charles Tambu, Sudjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo ikut hadir.

Sumitro terpaksa meninggalkan Dora, yang baru enam bulan dinikahinya, pada 7 Januari 1947. Ia berjumpa pertama dengan Dora Sigar di Rotterdam tahun 1945. Ketika itu Dora belajar di Ilmu Perawatan Pascabedah di Utrecht.

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer Kedua. Satu hari kemudian Sumitro bergegas menemui Robert A. Lovett, pejabat sementara Menteri Luar Negeri AS di Washington D.C. sambil membawa sebuah memorandum.

Ketika Sidang Dewan berlangsung, Sumitro meninggalkan New York untuk menghadiri Konferensi Asia yang membahas masalah Indonesia di New Delhi, 18 Januari 1949. Ia bergabung dengan delegasi Indonesia yang dipimpin Mr. A.A. Maramis.

Masa transisi - mulai dari takluknya Jepang, proklamasi kemerdekaan, hingga usaha-usaha Belanda untuk menjajah kembali - berdampak bagi perekonomian Indonesia.

Saat itu masih beredar mata uang Jepang, gulden Belanda, dan uang NICA. Berangsur-angsur dilakukan penggantian dengan Oeang Republik Indonesia (ORI). Oleh karena kekurangan bahan kimia untuk membuat ORI, Sumitro mencarinya ke Singapura dan "menyelundupkannya" ke Jawa. Ia belajar jadi "penyelundup" untuk kepentingan revolusi. Ini tugas dari Sjahrir dan Bung Hatta.

Pada 12 April 1947, Presiden Soekarno membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi pimpinan Muhammad Hatta. Anggota panitia pemikir berjumlah 98 orang. Sumitro bertugas memikirkan hal-ihwal keuangan dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

Usianya masih sangat muda (33) ketika Sumitro diangkat jadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian, sekitar Mei atau Juni 1950. Pada 20 Maret 1951 Kabinet Natsir roboh.

Ketua Senat FE-UI Suhadi Mangkusuwondo bersama mahasiswa FE-UI meminta Sumitro menjadi dekan. Waktu itu usianya 34 tahun. Belum lama menjabat dekan, Dr. Sumitro Djojohadikusumo diangkat menjadi guru besar ilmu ekonomi di FE-UI. Pada 3 April 1952, Sumitro kembali diangkat menjadi Menteri Keuangan Kabinet Wilopo. Sejak 3 Juli 1953, Kabinet Wilopo demisioner. Tanggal 30 Juli 1953 Sumitro kembali menjadi Dekan FE-UI.

Semenjak menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo-Prawoto (3 April 1952 - 30 Juli 1953), Sumitro merasakan adanya ketimpangan daerah. Terjadi pergolakan dalam dirinya sebagai politikus dan akademisi!

Tanggal 30 Juli 1953 - 24 Juli 1955 adalah masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kemudian terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956) dan Sumitro kembali dipercaya sebagai Menteri Keuangan.

Bergabung dengan "pemberontak"

Sepanjang tahun 1957, koran komunis dan pers nasional seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur melansir pemberitaan buruk tentang Sumitro. Ia dituduh melakukan korupsi besar-besaran.

Pada 23 Maret 1957 Sumitro dipanggil Corps Polisi Militer (CPM) Bandung. Tapi pemeriksa menyatakan, tidak ada alasan untuk menahan Sumitro. Panggilan kedua oleh CPM terjadi pada tanggal 6 - 7 Mei 1957. Kemudian 8 Mei 1957 ia dipanggil lagi.

Sumitro semakin tertekan oleh serangan koran prokomunis dan merasa hendak ditangkap. Atas prinsip "pengabdian dan perlawanan" ia memilih melawan rezim Soekarno yang dianggap terlalu dekat dengan golongan komunis dan mengabaikan pembangunan daerah. Mei 1957 ia ke Sumatra, bertemu Letkol Barlian dan Mayor Nawawi di Palembang. Ia sempat menyamar sebagai Letnan Dua Rasyidin. Pada 13 Mei 1957 ia tiba di Padang, bertemu Panglima Divisi Banteng, Letkol Achmad Husein. Malamnya Sumitro menuju ke Pekanbaru, menemui Kapten Yusuf Baron.

Ultimatum kepada pemerintah pusat akhirnya dikeluarkan pada 10 Februari 1958. Tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein melalui Radio Bukittinggi mengumumkan proklamasi pemerintahan tandingan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Dari Jakarta, Sjahrir menugaskan Djoeir Moehamad dan Djohan Sjahruzah menghubungi dewan-dewan militer di daerah. Sekaligus menghubungi Sumitro Djojohadikusumo. Mereka "mengejar" Sumitro hingga ke Padang. Tapi Sumitro keburu ke Pekanbaru, kemudian ke Bengkalis, sempat menyamar jadi kelasi kapal menuju Singapura. Lalu ke Saigon juga dengan menyamar sebagai kelasi kapal sebelum ke Manila dan melakukan kontak dengan Perjuangan Semesta (Permesta). Menyamar menjadi cargo supervisor atas nama pemilik kopra, Sumitro masuk ke Bitung. Ia ke Sumatra menggelar pertemuan dan memperluas hubungan dengan pemimpin militer di Sumatra, juga Sumual di Sulawesi.

Subadio, utusan Sjahrir, bertemu Sumitro di Singapura. Sumitro berperan menangani bidang logistik bersama Kolonel Simbolon dan Husein bagi PRRI. Ia sempat mengecek pengadaan senjata. Sebagian senjata dibeli di Phuket (Thailand) dan Taiwan. Dua kali ia masuk Taiwan, dan kembali ke Minahasa dengan pesawat bermuatan amunisi.

Konsep semula, menurut Sumitro, hanya untuk memperbaiki Jakarta. Tidak ada bayangan membuat suatu pemerintahan tandingan. Tuntutan mereka hanyalah ingin otonomi dan pengembangan daerah.

Sumitro mempercayai gagasan persatuan Indonesia. Namun, tatkala PRRI hendak mendirikan Republik Persatuan Indonesia (RPI), dan Pulau Jawa tidak termasuk di dalamnya, ia menolak tegas, "Kalau demikian, saya tidak bisa ikut, sebab negara kita satu." Ketidaksepakatan ini mendorong Sumitro mengungsi ke luar negeri, lantaran belum memungkinkan pulang ke Jakarta.

Selama 10 tahun di pelarian, Sumitro menggunakan banyak nama samaran. Para mahasiswa di Jepang mengenalnya sebagai Sungkono. Di Jerman dipanggil Sunarto. Di luar Frankfurt pakai nama Abdul Karim. Di Hongkong orang mengenalnya Sou Ming Tau (bahasa Kanton) dan Soo Ming Doo (bahasa Mandarin). Warga Malaysia mengenalnya Abu Bakar. Ia dipanggil Henry Kusumo atau Henry Tau di Bangkok.

Demi keamanan, Sumitro bersama keluarganya tak mau tinggal di suatu negara lebih dari dua tahun. Mulai dari Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Zurich-Swiss, London, kemudian pindah ke Bangkok.

Untuk menghidupi keluarganya di pelarian, ia terpaksa menjadi saudagar mebel dan real estate di Malaysia. Juga mendirikan Economic Consultans for Asia and the Far East (Ecosafe) di Hongkong, dan cabangnya di Kuala Lumpur. Ia memakai nama Kusumo.

Maret 1967, Soeharto menjabat presiden RI. Suatu kali Ali Moertopo menemui Sumitro di Bangkok, dan bertanya, "Apakah Pak Mitro bersedia kembali?"

Sumitro bilang, "You just remain yourself, and I just remain myself." Menlu Adam Malik, yang berkunjung ke Bangkok, mempertebal keyakinan Sumitro untuk pulang ke Tanah Air.

Sesudah resmi menjadi presiden, Soeharto menerima Sumitro di Cendana, 29 Mei 1968. Ia meminta kesediaan Sumitro membenahi ekonomi yang ambruk. Inflasi 600% lebih.

Sumitro akhirnya dilantik sebagai Menteri Perdagangan pada 27 Maret 1968. Tanggal 6 Juni 1968 susunan menteri Kabinet Pembangunan I diumumkan. Selanjutnya ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset Nasional (Menristek) pada Kabinet Pembangunan II.

Sekeluar dari kabinet tahun 1978, Sumitro menjadi konsultan. Juga menulis buku. Sejak 1982 ia mengurusi Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN). Sempat menjadi komisaris Bank Niaga, Bank Universal, dan Bank Kesejahteraan, pada 18 September 1992 - Desember 1992 Sumitro ditunjuk sebagai preskom Astra. (A. Hery Suyono)


Sumber: http://www.indomedia.com/intisari/2000/juli/sumitro7.htm

Bookmarks