Rabu, 26 November 2008

LETJEN TNI (PURN) DR (HC) H SUTIYOSO, SH

LETJEN TNI (PURN) DR (HC) H SUTIYOSO, SH

By pemiluindonesia.com on November 4th, 2008




BIODATA :

Nama: LETJEN TNI (PURN)DR(HC) H SUTIYOSO, SH
Lahir: Semarang, 6 Desember 1944
Agama : Islam
Jabatan : Gubernur DKI Jakarta 1997-2007
Pangkat Militer terakhir: Letnan Jenderal TNI
Istri: Setyorini (Menikah 1974)

Anak:
- Yessy Riana Dilliyanti
- Renny Yosnita Ariyanti

Ayah: Tjitrodihardjo
Ibu: Sumini

PENDIDIKAN :

- Sekolah Dasar, 1955
- Sekolah Menengah Pertama, 1959
- Sekolah Menengah Atas, 1963
- Fakultas Tekhik Jurusan Teknik Sipil, Untag Semarang, 1964 (hanya satu tahun)
- Akademi Militer Nasional, Magelang, 1968
- Kursus Sussarcab, 1969
- Kursus Suslapa Infantri, 1978
- Pendidikan Seskoad, 1984
- Pendidikan Seskogab, 1990
- Kursus Lemhanas, 1994
- Doktor Kehormatan (Honoris Causa) Bidang Ilmu Politik, dari Universitas Busan, Korea Selatan, tahun 2001

PENUGASAN MILITER :

- Operasi PGRS/Paraku (1969)
- Operasi Flamboyan, Timtim (1975)
- Operasi Aceh Merdeka (1978)

KARIR :

- Asisten Personel Kopassus, 1988
- Asisten Operasi Kopassus, 1990
- Asisten Operasi Kepala staf ” Kostrad, 1991
- Wakil Komandan Jenderal Kopassus, 1992
- Komandan Korem 062 Suryakencana, Bogor, 1993
- Kepala Staff Kodam Jaya, Maret, 1994
- Pangdam Jaya, April 1996
- Gubernur DKI Jakarta, 1997-2002
- Gubernur DKI Jakarta, 2002-2007

PENUGASAN LUAR NEGERI :

- Ke Republik Korea Tahun 1982
- Ke Kerajaan Inggris, menjalani on the job training di Airbone, . 1987
- Ke Australia 1989 o Ke Amerika Serikat tahun 1991, menjalani latihan loncat terjun payung bersama tentara Amerika di Fortbragg

ORGANISASI OLAHRAGA :

- Ketua Pelaksana Harian Perbakad
- Ketua Umum PB PERBAKIN, 1997 s/d 2001
- Pembina Persija Jakarta, hingga saat ini
- Ketua Umum PB PERBASI, sampai 2004
- Ketua Umum Damai Indan Golf
- Ketua Umum Independent Golf
- Ketua Umum PB PBSI, 2004-2008

ORGANISASI PEMERINTAHAN :

- Gubernur DKI Jakarta
- Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Propinsi Seluruh Indonesia

PENGHARGAAN :

- COM VIII / Dharma Pala
- Seroja
- Kesetiaan VIII Tahun
- Penegak G 30S PKI
- Kesetiaan XVI Tahun
- Dwija Sistha Kesetiaan XXIV Tahun
- Bintang Kep. Narayya
- Satyalancana Mahaputera Utama
- The Award of Honor of The Presdent of Ukraina
- Manggala Karya Kencana
- Satyalancana Wira karya
- Penghargaan sebagai Danrem Terbaik se-Indonesia, 1994
- Penghargaan sebagai “Gubernur Pembuat berita Terpopuler Indonesia 2002″
- Penghargaan “satu-satunya Gubernur di Indonesia yang Mengalami Lima Kali Pergantian Presiden”, dari Museum Rekor Indonesia (MURI), tahun 2004, “Habitat Scroll of Honour Award 2005″ dari UN Habitat.

HOBBY :

- Bulutangkis, Tenis, Golf, Menembak, Basketball, dan Sepakbola.

Masa Kecil Sutiyoso

Sutiyoso dilahirkan pada tanggal 6 Desember 1944 di sebuah dusun kecil bernama Pongangan yang terletak di daerah perbukitan di Jawa Tengah, sekitar 12 km dari kota Semarang. Kedua orang tuanya, Tjitrohardjo dan Sumini, memberikan nama tersebut karena Yoso, dalam bahasa Jawa bermakna memiliki atau kaya. Ayahnya mengharapkan agar anaknya kelak dapat mempertahankan kemapanan kehidupan keluarga mereka, bahkan bisa lebih baik lagi sesuai dengan tantangan jaman.

Di tempat kelahirannya itu, anak keenam dari delapan bersaudara ini menjalani masa kecilnya, dimana setiap hari, selain hari libur, ayahnya mendidik dan mengajar anak-anak desa yang ada di dusun Pongangan dan sekitarnya. Kebetulan memang ayah Sutiyoso adalah seorang Kepala Sekolah, sekaligus guru Sekolah Dasar di Pongangan.

Sutiyoso cilik memang dikenal sebagai anak yang bandel. Secara tak sengaja ia selalu berhasil membuat marah ayahnya, apakah karena ia secara teledor bermain-main menunggangi kudanya padahal ia sendiri belum terlalu jago menguasainya, atau sampai menjual kambing peliharaan demi membeli sebuah layang-layang. Semua ini hanyalah sikap anak-anaknya yang senang bermain tanpa peduli akan konsekuensi yang dihasilkan.

Namun ayahnya merespon dengan keras terhadap perilaku anaknya yang bandel. Hukuman yang diterima Sutiyoso bermacam-macam, dari tidak boleh makan siang dan dikurung dalam kamar, sampai diikat di pohon besar untuk beberapa jam lamanya. Sebagai seorang pendidik pada masa pemerintahan Belanda dan Jepang, ayah Sutiyoso memang terkenal keras dalam mendidik anak-anaknya. Teringat oleh Sutiyoso, kala ia masih duduk di sekolah dasar. Saat pembagian rapor, ketika ayahnya melihat nilainya pas-pasan, Sutiyoso langsung mendapat hadiah spesial berupa hukuman.

Walaupun hukuman-hukuman tersebut cukup parah, sesekali ia juga sering dipukuli, Sutiyoso justru tidak kapok. Menjelang remaja ia malah tumbuh menjadi anak yang doyan berkelahi. Khusus untuk mengasah hobinya ini, Sutiyoso seringkali rajin berlatih bak seorang petinju profesional, dengan sansak yang terbuat dari karung berisi pasir.

Walau sikapnya pemberontak, namun tetap selepas SMA, Sutiyoso, seperti layaknya anak yang berbakti, menuruti kemauan orangtuanya dan pada tahun 1964 ia mendaftar ke Fakultas Teknik Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag). Pada masa itu memang dokter dan insinyur adalah profesi yang sangat dihormati dan identik dengan kesuksesan hidup, sehingga kebanyakan orangtua akan merasa bangga apabila melihat anak mereka dapat menjadi seorang dokter atau insinyur. Selain itu, ayah Sutiyoso, menuruti falsafah Jawa tentang kehidupan, ingin melihat anaknya terarahkan menjadi “orang” di kemudian hari.

Padahal sebenarnya Sutiyoso lebih memilih menjadi tentara, seperti kakaknya yang masuk Tentara Pelajar. Tapi karena kekhawatiran sang ibu yang mengatakan kalau menjadi tentara berarti cepat mati, maka Sutiyoso pun mengurungkan niatnya itu.

Selama masa-masanya kuliah, keinginannya untuk menjadi tentara semakin menggebu-gebu. Akibatnya, ia pun menjalani kuliahnya dengan setengah hati. Berangkat dari rumah penampilannya memang seperti remaja yang benar-benar ingin kuliah, namun sebenarnya tidak demikian. Hobi berkelahinya malah menjadi-jadi. Dia tetap kuliah, hanya karena tidak ingin mengecewakan ibunya.

Walau begitu, Sutiyoso tetap mengontemplasikan akan pilihannya dalam hidup. Apakah menuruti kemauan kedua orangtua untuk kuliah di Teknik Sipil meskipun ia tidak menikmatinya, atau menuruti kemauan hati dan pindah haluan menjadi tentara. Kekhawatiran ibunya memang dapat dimengerti karena ia sempat trauma mengetahui bagaimana tentara Indonesia disiksa oleh tentara Belanda. Ibunya mengatakan, cukup satu anaknya saja yang menjadi seorang marinir.

Tanpa diduga, kebetulan pada saat itu ada pembukaan pendaftaran AMN (Akademi Militer Nasional) di Magelang, Jawa Tengah. Akhirnya, ia telah membulatkan tekadnya. Ia akan menjadi seorang tentara. Sutiyoso nekad mendaftarkan diri dan mengikuti tes AMN, mulai dari tingkat Kodam Diponegoro. Lolos di tingkat Kodam, ia menjalani tes lanjutan di Bandung dan terakhir di Lembang (Bandung bagian Utara). Segala tes itu ia lakukan tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Akhirnya, Sutiyoso diterima sebagai Prajurit Taruna (Pratar). Baru pada saat itulah, sekembalinya ia ke Magelang, ia menyurati orangtuanya kalau ia diterima menjadi Pratar di AMN Magelang.

Sutiyoso akhirnya bertemu dengan orangtuanya ketika ia dilantik menjadi taruna. Tanpa diduga, ibunya justru malah menangis bahagia melihat anaknya telah berhasil menjadi sesuatu, melihat dengan gigih ia mewujudkan mimpinya. Sementara sang ayah juga merasa bangga karena didikan kerasnya membuat anaknya menjadi kuat dan mandiri.

Karier Militer

Merah Putih dan Petaruhan Nyawa di Pasukan Elit

Pada tahun 1971 Sutiyoso diwisuda menjadi seorang perwira muda TNI Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Dua. Itulah awal kebahagiaan setelah tiga tahun digembleng dengan keras di kawasan Gunung Tidar (kampus AMN-Akademi Militer Nasional) Magelang, Jawa Tengah.

Sutiyoso kemudian ditawari pilihan karier dan kesatuan yang diminatinya - melalui penelusuran bakat dan kemampuan. Karena tidak mau setengah-setengah, dan juga karena mengingat pesan orangtua yang mengatakan jangan tanggung-tanggung apabila melakukan sesuatu, Sutiyoso memilih kesatuan infantri di angket yang disediakan, yaitu kesatuan tempur yang berada di garis depan.

Setelah menjalani pendidikan di kesatuan infanteri, setiap perwira muda diberikan pilihan untuk memilih ke Kodam, Kopassus atau Infanteri. Sutiyoso sendiri memilih ke Kopassus, karena merupakan pasukan elit. Untuk menjadi anggota Kopassus ternyata tidak mudah. Seleksinya sangat ketat. Dia harus menjalani berbagai tes, sebelum diterima. Setelah lolos seleksi, Sutiyoso bersama 22 orang seangkatannya diterima sebagai anggota korps Baret Merah, Kopassus (Komando Pasukan Khusus).

Pada masa itu sosok Sutiyoso agak menonjol karena statusnya yang lajang. Sementara perwira muda lainnya telah menikah setelah dua tahun menjadi prajurit. Ia memberikan alasan supaya ia memiliki waktu lebih banyak untuk belajar, latihan dan menjalankan tugas sebagai seorang pasukan elit. Pada saat operasi militer di Sulawesi, Kalimantan dan Timor Timur, Sutiyoso bertugas membela negara tanpa mesti merisaukan keluarganya, karena nyawanya sendirilah yang menjadi taruhan. Tak Cuma itu, terkadang pimpinan kesatuan akan menunjuk Sutiyoso ketika ia sedang kesulitan mencari anggota pasukan khususnya dengan alasan ia masih lajang.

Namun Sutiyoso akhirnya juga menikah ketika ia telah menjadi Komandan Kompi dengan pangkat Kapten. Sutiyoso menyunting seorang gadis dari Jawa Tengah bernama Setyorini dan pada tahun 1974 mereka pun menikah. Pernikahan itu memberikannya dua anak perempuan.

Dili dan Kenangan Tak Terlupakan

Sebagai anggota pasukan elit, Sutiyoso banyak diterjunkan dalam berbagai operasi militer di daerah operasi. Seperti Operasi PGRS/PARAKU di Kalimantan Barat, Operasi Flamboyan dan Operasi Penumpasan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Daerah Istimewa Aceh (kini Nangro Aceh Darussalam), serta Operasi Seroja di Timor Timur. Namun, dari berbagai pengalaman dalam menumpas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) atau gerakan separatis lainnya di daerah operasi, operasi di Timor Timur yang paling berkesan bagi Sutiyoso.

Di sanalah Sutiyoso mempertaruhkan karier dan nyawanya sebagai seorang pasukan elit Baret Merah. Ia menemukan medan operasi yang sangat berat, dan yang lebih berat lagi, musuhnya tak hanya bersembunyi di daerah pegunungan, tetapi juga berbaur dengan masyarakat setempat. Akibatnya cukup sulit membedakan antara masyarakat biasa, klandestein (mata-mata) dan anggota gerakan yang ingin merdeka.

Karena begitu terkesan dalam penugasan di Timor Timur, Sutiyoso pun menyelipkan nama kota Dilli, kini ibukota Timor Timur, diantara nama putri pertamanya, Yessi Riana Dilliyanti, yang lahir di Magelang, 8 Juni 1975.

Lima Jabatan Level Kolonel

Selain berbagai penugasan di daerah operasi, Sutiyoso juga sering dikirim mengikuti sekolah atau kursus di luar negeri. Antara lain ke Republik Korea (1982), Australia (1989) dan Amerika Serikat (1991).

Berbagai penugasan di daerah operasi, maupun mengikuti berbagai kursus militer, membuat Sutiyoso memiliki ilmu dan kelebihan lainnya dibandingkan rekan seangkatan atau perwira selevelnya. Hal itu membuat karier militer Sutiyoso lebih cemerlang dibandingkan rekan-rekan satu angkatan. Kenaikan pangkat Sutiyoso lebih cepat dari rekan seangkatannya sampai level Kolonel.

Namun, setelah itu, pangkatnya “macet” di Kolonel. Sutiyoso sampai mengalami lima jabatan level Kolonel selama enam tahun. Mulai dari menjadi Aspers (Asisten Personil) Kopassus, Asops (Asisten Operasi) Kopassus, Asops Kostrad, Wadanjen Grup Kopassus, hingga Danrem 062 Suryakencana Bogor.

Mandeknya pangkat kolonel itu, menurut Sutiyoso, karena tersumbatnya Angkatan ‘65. “Di angkatan tersebut ada Pak Tarub, Pak Soeyono dan lain-lain. Bila ada job dari angkatan Pak Tarub Cs, dioper lagi ke teman seangkatannya,” ungkap Sutiyoso.

Ini berbeda dengan Prabowo Subianto yang tidak ada sumbatan angkatan di atasnya, sehingga Wiranto pun satu angkatan dengan dengannya. Hal ini karena ketentuan Angkatan ‘65 sama dengan Angkatan ‘68. “Personil angkatan ‘65 itu 500 orang. Ibaratnya kita melempar sandal pun, akan jatuh ke kepala Angkatan ‘65,” ujar Sutiyoso.

Sukses Mengamankan KTT APEC

Setelah menjabat Danrem Suryakencana Bogor baru pangkat kolonel Sutiyoso “pecah telur”, menjadi Brigjen. Naiknya pangkat dan jabatan Sutiyoso itu, menurut rekan-rekanya, lebih karena prestasinya ketika menjadi Danrem 062 Suryakencana Bogor. Sutiyoso dinilai berhasil mengamankan pelaksanaan acara berskala internasional yang menjadi sorotan dunia, KTT APEC di Bogor pada tahun 1993. Ketika itu, para kepala negara dan kepala pemerintahan anggota APEC hadir, termasuk Presiden Amerika Serikat Bill Clinton.

Setahun kemudian (1994) setelah keberhasilannya, Sutiyoso menerima penghargaan sebagai Danrem Terbaik Se-Indonesia. Sejak Desember 1994, dia dipromosikan menjadi Kasdam Jaya di Jakarta dengan pangkat Brigjen. Sejak itu bintangnya terus bersinar. Dua tahun setelah itu, tepatnya 19 Maret 1996, Sutiyoso dipercaya menjadi Pangdam Jaya, posisi yang sangat strategis dari seluruh Pangdam di Indonesia.

Ketika ditanyai komentarnya soal keberhasilan mengamankan KTT APEC dan mendapatkan penghargaan sebagai Danrem terbaik se-Indonesia, Sutiyoso menjawab dengan rendah hati, “Saya hanya melakukan yang terbaik untuk bangsa dan negara ini, dan kebetulan ada momentum yang mendukung.”

Sutiyoso boleh jadi menunjukkan sikap rendah hati. Namun, sebelum event KTT APEC, dia baru saja lulus dari Lemhanas KRA XXVI-1993. Banyak teori yang diperolehnya selama kursus Lemhanas yang bisa langsung diterapkan untuk mensukseskan pengamanan KTT APEC.

Selain itu, penghargaan Danrem Terbaik juga bukan semata hanya keberhasilannya mengamankan KTT APEC. Tetapi juga karena keberhasilannya dalam menjaga stabilitas dan keamanan di daerah teritorialnya. Sebagai Danrem, Sutiyoso berhasil menjadi mediator dalam kasus Rancamaya, yaitu sengketa ganti rugi tanah antara masyarakat penggarap dengan PT Suryamas Duta Makmur. Kasus itu semula hanya terjadi secara lokal. Namun, karen penyelesaiannya lambat dan berlarut-larut, kasusnya tak kunjung tuntas dan berkembang menjadi isu nasional.

Sebagai pimpinan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda), Sutiyoso aktif mengambil peran penengah dalam kasus tersebut. la mengadakan kerja sama dengan Pemda Bogor dan instansi terkait. Bahkan Makodam 062 Suryakencana, Bogor, dijadikan tempat Tim Pemda Bogor, untuk mendekatkan Tim Pelaksana Seleksi dengan lokasi bermasalah. Yang membahagiakan Sutiyoso, kasus Rancamaya berakhir dengan manis. Sebanyak 387 petani penggarap mendapatkan yang menjadi tuntutan mereka, yakni uang ganti rugi tanaman sebesar Rp 153,34 juta.

Memperjuangkan Korps

Sebagai pemimpin, jelas terlihat bahwa Sutiyoso tidak mementingkan kariernya saja. Ketika menjabat Aspers Kopassus, misalnya, ia tidak habis pikir mengapa banyak personil Kopassus yang gagal masuk Seskoad (Sekolah Staf dan Komandi TN Angkatan Darat). Sepintar apa pun perwira di Kopassus, menurut Sutiyoso, jarang ada yang langsung lolos. Sintong Panjaitan dan Sofyan Effendi misalnya, harus dua kali tes baru lolos, sama seperti dirinya.

Setelah mencermati dan menelusuri, Sutiyoso akhirnya menemukan jawabannya. Kegagalan personil Kopassus kebanyakan di psikotes. “Soalnya orang Kopassus itu biasa latihan keras dan ketat secara fisik di medan operasi. Dalam keadaan seperti itu, lalu disuruh mengikuti tes. Jelas, secara psikologis tidak siap mental. Tapi yang tidak pernah bertempur, seperti orang-orang perhubungan, Zeni dan lainnya, bisa lebih konsentrasi dan secara mental lebih siap,” ungkap Sutiyoso.

Dari pengamatan itu, Sutiyoso lalu menghadap Aspers KSAD. Sutiyoso lalu menjelaskan apa yang diamatinya dan memberikan solusi. Dia minta Aspers KSAD memberikan dispensasi kepada perwira-perwira Kopassus. Kalau tidak, bakal tidak ada pimpinan TNI yang berasal dari special forces, pasukan khusus. Padahal, di negara-negara maju, kebanyakan pimpinan militer berasal dari pasukan khusus. “Saya minta orang-orang ini diluluskan semuanya, karena prestasinya bagus,” ujar Sutiyoso ketika itu. Usahanya ternyata berhasil. Sebanyak 15 orang perwira Kopassus lulus masuk Seskoad.

Tak hanya itu. Setelah sukses memperjuangkan perwira Kopassus agar lebih banyak masuk ke Seskoad, Sutiyoso memperjuangkan kepentingan anak buahnya di korps “baret merah” untuk mendapatkan insentif dari setiap lencana/penghargaan yang mereka peroleh. Dia menilai insentif itu perlu. Kalau tidak, apa bedanya Kopassus dengan kesatuan lainnya. Akibatnya, bisa-bisa Kopassus tidak diminati.

Sutiyoso lalu menghadap Aspers KSAD lagi yang waktu itu dijabat oleh Sutopo Juwono, yang dikenal galak. Namun, Sutiyoso punya cara untuk “merayu”. “Pak, Bapak lihat wing saya,” kata Sutiyoso sambil menunjuk lencana wing yang melekat di atas kantong depan seragamnya. Sutiyoso menyarankan agar setiap wing penghargaan mendapat tunjangan Rp 10 ribu per bulan. Karena selama ini yang mendapat tunjangan hanya untuk mendapatkan wing satu bulan. Sedangkan wing komando yang untuk memperolehnya perlu waktu tujuh bulan, tidak mendapat tunjangan. “Kalau begitu sangat tidak adil, dong,” ujar Sutiyoso ketika itu.

Sutiyoso menambah dengan “bumbu-bumbu” lain, bahwa tunjangan itu tidak akan menghabiskan anggaran militer. Karena hanya segelintir orang yang mendapatkan wing komando. “Pantasnya wing komando ini mendapatkan tunjangan tujuh kali lipat. Tapi Bapak cukup memberi tiga puluh ribu saja setiap bulan sudah cukup,” kata Sutiyoso. “Jadi, apakah semua wing ada tunjangannya begitu?” tanya Sutopo Juwono. Sutiyoso dengan tegas mengiyakan. Hatinya begitu gembira, karena setelah itu semua wing atau lencana Kopassus mendapatkan tunjangan.

Pada kesempatan lain Sutiyoso menghadap Sutopo Juwono untuk memperjuangkan rekan-rekannya di korps baret merah, seperti Syahrir dan Agum Gumelar. Saking seringnya, Sutopo Juwono sampai berkata, “Aku ini kalau ketemu kamu, kepalaku jadi puyeng,” cerita Sutiyoso menirukan Sutopo Juwono.***

Tidak ada komentar:

Bookmarks