Minggu, 14 Juni 2009

Kedaulatan atas Migas masih minim

Kedaulatan atas Migas masih minim

Writer :Business
Publisher :bisnis Indonesia
Updated :28.08.2008 00:00

bisnis Indonesia
Kedaulatan atas migas masih minim

Meski sudah merdeka 63 tahun, kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya di sektor energi dan mineral, masih minim.

Akibatnya, sektor ini tidak dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kondisi ini ditunjukkan oleh sedikitnya dua hal.

Pertama, bangsa ini tidak bisa menikmati harga minyak men tah dunia yang melambung tinggi. Padahal, kita merupakan salah satu produsen migas, bahkan sebelumnya sempat menjadi negara pengekspor.

Ketika harga minyak dunia mencapai level tertinggi, yaitu US$147,02 per barel, sekitar medio Juli 2008, negeri ini justru mengalami kesulitan. Ini karena pada harga US$126 per barel saja, subsidi BBM dalam APBN-P 2008 membengkak menjadi Rp190 triliun.

Membengkaknya subsidi itu merupakan beban berat di tengah kesulitan keuangan negara. Untuk menguranginya, pemerintah menaikkan harga BBM (premium, solar, minyak tanah) rata-rata 28,7% yang berlaku pada 24 Mei 2008.

Masalahnya menjadi makin serius tidak hanya karena harga BBM yang tinggi, tetapi juga pasoknya yang sempat langka, bahkan di daerah penghasil migas sekalipun. Kondisi ini terjadi bersamaan dengan kelangkaan pasokan listrik dan gas elpiji di sejumlah daerah.

Apa yang dialami sektor energi ini sesungguhnya merupakan ironi yang sangat besar bagi Indonesia. Betapa tidak! Negeri ini memiliki berbagai sumber energi, selain migas, yang beragam, yaitu batu bara, tenaga air, panas bumi, dan biomassa.

Kedua, kendati memiliki berbagai sumber energi yang beragam dan banyak, Indonesia tetap saja tergolong negara berkembang.

Sebagai salah satu dari 10 produsen gas bumi terbesar dunia, Indonesia memiliki cadangan terbukti dan cadangan potensial 170 triliun kaki kubik-180 triliun kaki kubik (TCF).

Dengan konsumsi sekitar 2,693 TCF per tahun pada 2007, deposit itu diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan energi nasional sedikitnya 60 tahun mendatang.

Produksi gas mencapai 2,783 TCF pada 2007. Dari jumlah ini, sebagian besar diolah menjadi LNG dan LPG/elpiji, selebihnya untuk pembangkit listrik dan industri petrokimia.

Oleh karena itu, konsumsi energi sudah saatnya dialihkan dari minyak ke gas bumi, batu bara, tenaga air, panas bumi, dan biomassa.

Cadangan batu bara yang ada, sekitar 50 miliar ton (3% dari potensi dunia), diperkirakan dapat digunakan hingga sedikitnya 150 tahun ke depan.

Cadangan panas bumi 27.000 MW (40% potensi dunia) dan tenaga air 75.000 MW (0,02% potensi dunia).

Deposit keempat jenis sumber energi ini jauh lebih besar daripada minyak, yang diperkirakan habis sekitar 15 tahun lagi bila tidak ada eksplorasi baru. Negeri ini memiliki cadangan minyak sekitar 9,7 miliar barel, yang sekitar 4,7 miliar barel merupakan cadangan terbukti.

Lifting energi

Tahun ini, lifting minyak mentah sekitar 927.000 barel per hari (bph), turun dari 950.000 bph pada 2005. Padahal, pada 2003 lifting minyak sekitar 1,3 juta bph, bahkan pada 1995 sempat mencapai 1,5 juta bph.

Lifting minyak terus menurun, sebaliknya lifting energi terus meningkat, yang kini mencapai 4,427 juta bph setara minyak mentah.

Pertanyaannya, cadangan sumber energi itu sebenarnya milik siapa? Berdasarkan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 (naskah asli), deposit itu milik negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Karena milik negara, pemerintah lalu mengundang perusahaan asing. Kebijakan ini dapat dipahami mengingat saat itu, terutama pada era Orde Lama dan Orde Baru, Indonesia memiliki keterbatasan dalam hal modal, teknologi, SDM yang bermutu, dan pengetahuan mengenai teknik penggunaan sarana pasar modal.

Maka masuklah perusahaan asing di bidang migas dan mineral, a.l. Caltex, Stanvac, BPM/Shell, Gas Unie, Biliton, Mobil Oil (sekarang ExxonMobil), Beyond Petroleum (sebelumnya British Petroleum), Freeport McMoRan, dan Newmont. Masuk pula perusahaan asing di sektor pertanian, pengolahan dan perdagangan hasil pertanian seperti Onderneming, Borseuhmij Wehri, Lindeteves, Hagemeijer, Unilever, dan Phillips.

Upaya menarik investasi kemudian dilegitimasi oleh kehadiran UU No. 1/1967 tentang PMA dan UU No. 6/ 1968 tentang PMDN. Kedua UU ini kemudian direvisi menjadi UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Berbagai perusahaan asing tersebut diwajibkan pemerintah saat itu untuk membangun industri pengolahan minyak di Plaju, Sungai Gerong, Balikpapan, Lirik, dan Pendopo.

Sementara itu, perusahaan asing di sektor pertanian dan perdagangan dinasionalisasi menjadi BUMN, seperti Perusahaan Negara Perkebunan (lalu menjadi PT Perkebunan dan selanjutnya menjadi PTPN), PT Pantja Niaga, PT Dharma Niaga, dan PT Tjipta Niaga.

Sejumlah perusahaan asing itu berkembang pesat, bahkan ada yang menjadi raksasa. Dengan laba yang begitu besar, kapitalisasi pasar ExxonMobil dan Freeport McMoRan, misalnya, menjadi berlipat ganda. Posisi ini membuat mereka makin mudah menerbitkan obligasi/menggelar initial public offering (IPO) atau memperoleh kredit dari perbankan dengan mengagunkan cadangan migas dan mineral negeri ini.

Tindakan ini dibolehkan. Apalagi perusahaan asing itu telah memperoleh hak pengelolaan migas dan mineral dari pemerintah. Hak ini memiliki nilai strategis yang dapat memperbesar skala usaha mereka.

Dalam memperoleh kredit, perusahaan asing seharusnya tidak diperbolehkan mengagunkan seluruh deposit migas dan mineral yang ada. Besarnya agunan itu seharusnya disesuaikan dengan bagi hasil yang merupakan bagian dari perusahaan asing atau mitra lokal tersebut, yaitu 15% untuk minyak dan 35% untuk gas.

Kedaulatan minim

Namun, tidak demikian halnya dengan negeri ini, yang tidak bisa langsung mengelola deposit itu kecuali menguasakannya kepada perusahaan negara atau swasta. Maka didirikan BUMN, seperti PT Pertamina untuk mengelola migas sebagai warisan dari Shell, PT Tambang Batubara Bukit Asam untuk batu bara, PT Tambang Timah untuk timah.

Ini menunjukkan betapa minimnya kedaulatan negara atas pengelolaan migas dan mineral. Padahal, jika kedaulatan itu cukup besar, kita tidak perlu lagi mengandalkan kontrak production sharing guna memperoleh pendapatan dan keuntungan dalam jumlah besar.

Sebagai contoh, dengan lifting migas 2,427 juta bph setara minyak mentah dan harga minyak US$125 per barel, diperoleh pendapatan sehari sekitar US$303,375 juta atau setahun US$109,215 miliar. Setelah dikurangi biaya eksplorasi (termasuk cost recovery) 25% dan pajak 35% diperoleh laba bersih US$53.242.312.500.

Negara bahkan bisa memperoleh dana untuk mengembangan sektor migas dan membiayai pembangunan dengan menggelar IPO. Bila sekitar 20% dilepas di bursa saham, dengan price earning sekitar 20 kali, nilainya mencapai US$212.296.925.000.

Untuk memperlancar proses dan meminimalkan munculnya protes keras, dikeluarkan sekitar 4% dari total dana hasil IPO, senilai US$8.491.877.000. Dana ini termasuk untuk membayar fee underwriter, proses politik di DPR, sosialisasi, dan publikasi di media massa.

Keuntungan negara makin besar apabila harga migas dunia terus meningkat.

Minimnya kedaulatan negara tersebut merupakan masalah penting yang harus segera dipecahkan. Oleh karena itu, Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, perlu diubah.

Di sisi lain, ada preseden dari gerakan nasionalisasi perusahaan migas di Amerika Latin. Maka pengalaman Venezuela dan Bolivia, misalnya, mungkin perlu dipertimbangkan untuk dijadikan model di negeri ini.

Apakah dengan begitu kita menjual hak dan aset negara? Bukankah Pertamina milik negara dan otomatis milik rakyat?

Bukankah dengan listing di pasar modal dan menjual saham kepada publik 15%-20%, efeknya akan sama seperti sistem kontrak 'bagi hasil' yang kita terapkan dalam pengelolaan migas bersama perusahaan asing atau mitra lokal?

Tidakkah kita dapat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Freeport dan PT Bumi Resources Tbk, di mana pemegang sahamnya menjadi orang terkaya di dunia karena mereka pandai dan mempergunakan sarana pasar modal?

Oleh Peter F. Gontha
Komisaris PT Satmarindo

Tidak ada komentar:

Bookmarks