Sabtu, 21 Februari 2009

Melihat Daerah Sentra Produksi Beras

Melihat Daerah Sentra Produksi Beras (1)
Petani Justru Berharap Bisa Mendapatkan Raskin

SM/Sigit Oediarto HASIL PANEN: Seorang petani di Banyumas mengolah gabah
hasil panen. Sejumlah petani kini mengaku tidak punya persediaan gabah untuk
dijual. (30m)

Untuk mengetahui apakah petani saat ini masih memiliki stok gabah atau beras,
wartawan Suara Merdeka Eko Suksmantri, selama sepekan di akhir Desember 2005
memantau beberapa daerah sentra produksi padi atau daerah surplus. Daerah yang
dipantau antara lain Kabupaten Cianjur, Karawang, Indramayu, dan Cirebon, (Jawa
Barat) serta Kabupaten Tegal, Brebes, Pemalang, dan Demak, (Jawa Tengah).
Berikut laporannya.

TAMPAKNYA polemik tentang impor beras belum akan berakhir. Sebab meski rapat
koordinasi Dewan Ketahanan Pangan (DKP) telah menyepakati terjadi defisit
25.000 ton dan ditugasinya Perum Bulog untuk menambah stok 132.000 ton, tapi
Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono tetap berpandangan impor beras
belum diperlukan. Bahkan anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera (FPKS) DPR, Suswono, bersikukuh menolak impor dengan alasan
melindungi petani.

Yang menjadi pertanyaan adalah ada kepentingan apa dibalik penolakan impor
beras yang dilakukan Perum Bulog? Pertanyaan ini memang perlu dikemukakan,
mengingat impor beras yang dilakukan oleh 23 perusahaan swasta dan jumlahnya
jauh lebih besar tidak diributkan. Apalagi sudah ada jaminan dari pemerintah,
dalam hal ini Wakil Presiden dan Menko Perekonomian bahwa impor beras yang
dilakukan Perum Bulog hanya untuk menambah stok dan raskin (beras untuk
keluarga miskin).

Hasil pengamatan di lapangan membuktikan, petani saat ini memang tidak memiliki
beras lagi. Ini terbukti sebagian besar dari mereka adalah penerima raskin. Di
Kabupaten Cianjur misalnya, 57% dari 52.692 kepala keluarga (KK) penerima
raskin adalah petani. Menurut Wakil Kepala Sub Divisi Regional (Waka Subdivre)
Bulog Wilayah II Cianjur, HA Apip Djajadisastra, di kabupaten yang terkenal
beras pulennya itu, jumlah KK miskin sesuai data tahun 2004 mencapai 146.174 KK.

Sementara itu, alokasi pagu raskin di kabupaten yang dikenal surplus pangan
itu, tahun anggaran 2005 hanya 10.538,4 ton, sehingga hanya bisa meng-cover
36,05% dari KK miskin. Karena itu, tidak keliru bila Bupati Cianjur, dengan
suratnya No 551.1/3232/pe meminta penambahan alokasi raskin kepada Gubernur
Jawa Barat.

Hal serupa dilakukan Bupati Sukabumi, Karawang, Indramayu, dan Tasikmalaya.
Bahkan Bupati Indramayu, langsung mengirim surat kepada Menko Kesra meminta
penambahan alokasi raskin. Alasan yang dikemukakan adalah harga beras di daerah
itu naik cukup tinggi, akibat kenaikan harga bahan bakar minyak pada awal
Oktober lalu. Harga beras yang tinggi itu dirasakan sangat memberatkan
masyarakat miskin baik petani maupun nelayan.

Elan, misalnya, petani yang hanya memiliki lahan pertanian 0,5 hektare di desa
Kertasari, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang. Dia mengaku, bebannya
bertambah berat dengan kenaikan harga beras. Karena itu, dia berharap program
raskin dilanjutkan dan jumlahnya ditambah. Kalau sekarang dia hanya menerima
5-10 kg per bulan, hendaknya bisa dinaikan menjadi 20-25 kg per bulan.

Beratnya beban hidup akibat tingginya harga beras itu juga dirasakan petani
penggarap di daerah Cianjur. Sulaiman, petani desa Cibiuh, Ciranjang, Cianjur
mengatakan, "Saya tak punya lagi simpanan beras. Padi habis saya jual saat
panen. Kini saya tinggal berharap bisa membeli beras dengan harga murah seperti
raskin."

Apa yang dikemukakan Sulaiman itu dibenarkan oleh H Sambas, tokoh masyarakat
sekaligus pedagang beras di Kabupaten Cianjur. Petani di daerah ini sebagian
besar memang tak punya gabah lagi. "Petani mah tak punya beras. Kalau toh ada
yang punya jumlahnya tidak banyak. Sekarang ini, membeli gabah satu kuintal
saja tidak ada yang jual."

Kehabisan stok

Hal senada dikatakan H Kartawi. Pemilik penggilingan beras (PB) Sri Lungguh
Desa Widasari, Jatibarang, Indramayu ini mengaku kehabisan stok. Biasanya dia
mendapat pasokan gabah dari petani antara 50 ton dan 100 ton per hari. "Januari
ini, gudangnya tak mungkin terisi karena daerah Indramayu belum panen. Kalaupun
toh ada gabah, harganya sangat mahal," tutur dia seraya mengatakan, harga gabah
kering giling (GKG) saat ini mencapai Rp 2.550/kg.

Tampaknya, ketiadaan beras ini tidak hanya dialami sebagian besar petani di
Cianjur, Kawarang, Cirebon, dan Indramayu, Jawa Barat, tetapi juga diakui
petani di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Dua petani di Desa Bolo, Kecamatan
Demak, Kabupaten Demak, Saniman dan Suroto, misalnya, mengaku sudah tidak punya
gabah lagi untuk dijual.

Para petani, kata Saniman, menjual gabah pada saat panen. Kalaupun sekarang
mereka punya stok, itu hanya cukup untuk keperluan rumah tangga.

Pernyataan Saniman itu dibenarkan Djoko Haryoto, Kepala Sub Divre I Bulog,
Semarang. Dia mengatakan, sebagian petani di Jawa Tengah memang sudah tidak
memiliki gabah. Karena itu, tidak heran bila beberapa daerah di provinsi itu,
seperti Kabupaten Wonogiri, Rembang, Blora, Jepara, Demak, Purbalingga, dan
Tegal, minta alokasi raskin ditambah. (46v)

+++++

http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/05/nas07.htm

Melihat Daerah Sentra Produksi Beras (2-Habis)
Importir Swasta Merusak Harga

PETANI PROTES: Sejumlah petani protes di depan Istana Negara, Jakarta,
beberapa waktu lalu. Mereka menuntut pemerintah membatalkan impor beras, karena
hasil produksi petani dalam negeri masih mampu menopang kebutuhan konsumsi
dalam negeri.(30t) - SM/Antara

PENOLAKAN impor beras dengan alasan membantu dan membela petani, patut
dipertanyakan. Sebab, mereka utamanya petani penggarap dan buruh tani tidak
merasa dirugikan dengan kebijakan impor tersebut. Bahkan, sebagian besar petani
ingin harga beras di pasaran murah, sehingga terjangkau.

Keinginan petani tersebut memang masuk akal, karena sebagian besar dari mereka
sekarang tidak memiliki gabah lagi. Kalaupun mereka memiliki gabah jumlahnya
tidak banyak dan hanya cukup untuk kebutuhan sendiri. Seperti yang dituturkan
Saniman, petani Desa Bolo, Demak dan Ichsan, petani Desa Kertasari,
Rengasdengklok, Karawang bahwa mereka hanya punya gabah untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari.

Awalnya, Saniman ataupun Ichsan sangat marah ketika mendengar pemerintah mau
mengimpor beras. ''Terus terang, waktu itu kami-kami ini nggak habis pikir, kok
pemerintah nggak membela petaninya. Tapi malah membela petani asing,'' kata
Saniman.

Tapi ketika dia tahu kalau impor beras yang dilakukan Bulog itu hanya untuk
persediaan pangan nasional dan raskin, bukan untuk dijual dia merasa lega.
''Kalau untuk persediaan pangan dan raskin, ya monggo (silakan-Red) saja. Kami
dukung impor, wong itu untuk rakyat yang nggak mampu kok. Gimana jadinya kita
kalau pemerintah nggak punya stok dan kita kekurangan beras, bisa nggak
makan,'' tuturnya.

Namun keduanya meminta agar pemerintah tidak memberi izin kepada perusahaan
swasta untuk melakukan impor beras dalam bentuk apa pun, baik untuk penderita
diabetes maupun menir. Sebab, yang mereka dengar, impor beras pecahan dan
diabetes itu cuma akal-akalan importir agar bisa memasukkan beras. ''Mereka
itulah yang merusak harga gabah petani. Merekalah yang harus diberantas,''
tegas Saniman.

Baik Saniman maupun Ichsan yang punya lahan dua hektare itu mengaku hasil
padinya hanya cukup untuk hidup pas-pasan. Artinya, hasil taninya hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menyekolahkan anaknya. ''Bara-bara dalam
musim paceklik sekarang ini jual gabah, bisa bertahan hidup saja sudah
untung,'' keluhnya.

Tampaknya, Ichsan yang hidup pas-pasan dari hasil bercocok tanam itu tidak
sendirian. Sebab, petani di daerah-daerah lain seperti di Indramayu, Jawa
Barat, lebih menderita darinya. Petani di daerah Indramayu, dalam musim
paceklik kali ini ada yang makan nasi aking (nasi yang dikeringkan) atau karak
di daerah Jawa Timur.

Umumnya, petani yang hidupnya serba kekurangan ini adalah petani yang punya
lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare, bahkan hanya 0,25 hektare. Selain itu
juga buruh tani dan petani penggarap. Mereka ini populer disebut dengan petani
gurem dan jumlahnya jauh lebih besar dari petani yang memiliki lahan di atas 1
hektare. (Eko Suksmantri-29v)


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~-->
Clean water saves lives. Help make water safe for our children.
http://us.click.yahoo.com/CHhStB/VREMAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~->

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny.
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************

Tidak ada komentar:

Bookmarks